BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang.
Pendidikan merupakan salah satu
sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20
Tahun 2004, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan
segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran.
Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan,
berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota
masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini
disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai
pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan
pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.
Dengan demikian evaluasi pendidikan
merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana
pendidikan. Namun tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur
pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat
keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan
sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat
mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.
Ujian Akhir Nasional merupakan salah
satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang merupakan bentuk lain dari
Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus. Pelaksanaan
Ujian Akhir Nasional (UAN) dalam beberapa tahun ini menjadi satu masalah yang
cukup ramai dibicarakan dan menjadi kontraversi dalam banyak seminar atau
perdebatan. Beberapa kali sempat terlontar rencana atau keinginan dari beberapa
pihak untuk menghapus atau meniadakan Ujian Akhir Nasional tersebut. Tidak
kurang dari Mendikbud sendiri pernah melontarkan pernyataan akan menghapus UAN,
dan pernyataan beberapa anggota Dewan yang mengusulkan penghapusan UAN
tersebut.
Dalam tahun 2006, walaupun UAN
mengalami peningkatan dalam prosentase kelulusan, masih dipandang sebelah mata
oleh anggota DPR. Hal ini terjadi karena banyaknya laporan yang masuk ke DPR
mengenai penyelewengan yang terjadi dalam UAN tersebut. Menurut Wakil Ketua
Komisi X DPR, UAN dinilai diskriminatif terhadap peserta didik. Komisi X
menilai UAN ini sebaiknya hanya digunakan untuk pemetaan kemampuan siswa yang
nantinya digunakan untuk mendukung pembuatan kebijakan dan bukan untuk penentu
kelulusan. UAN juga bertentangan dengan Sisdiknas, karena dalam Sisdiknas
dikatakan bahwa tenaga pengajar diberikan kewenangan untuk menilai siswanya
dalam masalah kelulusan.
Pada tahun 2005, Komisi X DPR RI
pernah menolak kebijakan pemerintah khususnya Mendiknas Bambang Sudibyo yang
bersikukuh tetap melaksanakan UAN di tahun 2005 yang lalu. Menurut Ketua Komisi
X Heri Akhmadi, pelaksanaan UAN bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan
Nasional No 20 tahun 2003. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan : Evaluasi Peserta Didik, satuan Pendidik,
dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala,
menyeluruh, transparan, dan sistematik, untuk menilai pencapaian standard
nasional pendidikan. Dalam pasal 58 UU Sisdiknas tersebut juga
dinyatakan bahwa evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan (Kompas, Senin 24 Januari 2005).
Adapun syarat kelulusan UAN untuk
tahun 2008 ini adalah 4,25 untuk nilai minimal masing-masing mata pelajaran
yang diujikan dan rata-rata minimal 5,0. Ada empat mata pelajaran yang diujikan
yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan IPA. Banyak terjadi
seorang siswa yang dalam pendidikan disekolah mendapatkan ranking cukup baik
dikelas tetapi tidak lulus UAN hanya karena salah satu mata pelajaran tersebut
nilainya kurang dari rata-rata. Sehingga walaupun nilai mata pelajaran lain
tinggi, tetap tidak lulus. Beberapa siswa bahkan sudah diterima di perguruan
tinggi negeri melalui jalur PMDK atau di SMA tertentu, tetapi gagal karena
tidak lulus UAN, dan perguruan tinggi negeri serta SMA swasta favorit tidak mau
menerima peserta yang tidak lulus UAN. Bahkan beberapa sudah sempat diterima di
perguruan tinggi luar negeri tetapi gagal juga karena tidak lulus UAN.
Dengan demikian UAN dalam
implementasinya mengalami krisis kebijakan dimana faktor penyebab krisis dapat
ditinjau dari berbagai dimensi sebagai contoh sederhana krisis tersebut dapat
terjadi karena kekurangan dalam proses perumusan kebijakan dan programnya,
kekeliruan dalam proses perencanaan, penyimpangan dalam pelaksanaan, kelemahan
dalam penentuan anggaran atau bahkan pada saat pengawasan dan dan pelaporan.
Oleh karena itu, pada makalah ini
mencoba untuk mengupas tentang evaluasi ujian nasional pada tahun ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimanakah kebijakan UAN?
1.2.2. Bagaimanakah Evaluasi
Pendidikan Seharusnya dan Meluruskan Kebijakan ?
1.2.3. Bagaimana Evaluasi Ujian Nasional di indonesia tahun
2013 dan perbaikan sisitem?
1.3 Tujuan
1.3.1. Uuntuk mengetahui bagaimana kebijakan
UAN
1.3.2 Untuk mengetahui Evaluasi Pendidikan Seharusnya dan
Meluruskan Kebijakan
1.3.3 Untuk mengetahui Evaluasi Ujian Nasional di indonesia tahun 2013 dan
perbaikan sistem.
1.4 Manfaat
1.4.1. Bagi mahasiswa sekaligus
sebagai calon guru, supaya bisa mengerti dengan baik mengenai bagaimana seharusnya proses ujian nasional
itu dilaksanakan, supaya nantinya bisa mendekatkan anak didik pada kesuksesan
1.4.2. Bagi penulis hendaknya dapat
lebih memahami tentang proses ujian nasional yang semestinya sesuai dengan
ketetapan yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
PROSES EVALUASI UJIAN NASIONAL DI INDONESIA TAHUN 2013
1.2.1. KEBIJAKAN UJIAN NASIONAL (UAN)
Sebelum berbicara tentang evaluasi,
terlebih dahulu akan dikemukakan tentang kurikulum sebagai cara untuk mencapai tujuan
pendidikan. Kurikulum mencakup fokus program, media instruksi, organisasi
materi, strategi pembelajaran, manajemen kelas, dan peranan pengajar. Di
Indonesia sekarang sedang dikembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi
yang dibakukan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Adapun tujuan
pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
pasal 3 bahwa pendidikan “bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab
Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi
tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang
diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja
yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka. Untuk itu evaluasi
harus mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam
bekerja. Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan membuat
peserta didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara
mengafal saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum
berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena cukup
dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat mengerjakan tes.
Sebagai konsekuensinya harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab
semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan.
Selain itu pendidikan harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti
pendidikan dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata lain
evaluasi tidak bisa dilakukan hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan
secara komperehensif atau menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara
terus menerus dan berkelanjutan .
Demikian pula yang dikemukakan
McNeil dimana evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting yaitu
penempatan, mastery, dan diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level
belajar yang mana seorang anak dapat ditempatkan sehingga dapat menantang
tetapi tidak frustasi. Mastery berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki
pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk menuju ke tingkat berikutnya.
Diagnosis berkaitan dengan pada bagian mana yang dirasa sulit oleh anak.
Dalam pembahasan ini dijelaskan
analisa kebijakan UAN yang bertentangan dengan UU Sisdiknas dan bentuk evaluasi
di dalam pendidikan. Pertama, ada anggapan dari sebagian
orang, terutama para pejabat Legislatif yang menganggap bahwa UAN bertentangan
dengan UU Sisdiknas. Dimana Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk
menerapkan UAN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan
bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik
melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah
lanjutan tingkat atas.
Begitu pula evaluasi dalam
pendidikan seharusnya dapat memberikan gambaran tentang pencapaian tujuan
sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Evaluasi
seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana kesehatan peserta
didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting seperti yang
dipaparkan oleh Mc Neil. Selain itupula dalam evaluasi pendidikan diharapkan
dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan juga dapat meningkatkan kreativitas,
kemandirian dan sikap demokratis peserta didik
Dari paparan di atas, yang menjadi
pertanyaan apakah mutu pendidikan dapat diukur dengan memberikan ujian akhir
secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi bila dihadapkan mutu pendidikan
dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa dilihat hanya pada saat
sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada tingkat nasional dapat
dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UAN sebagaimana yang
dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di
Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat
indikasi bahwa soal-soal UAN (yang dulu disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke
tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya
hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak
mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata pelajaran
‘penting’ saja, apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu
pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari
dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan kognitif saja. UAN tidak
akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam
mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu melihat mutu
pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan
pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UAN tidak akan mampu
menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan yang
diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan UAN.
Selain itu pula UAN yang dilakukan
hanya dengan tes akhir pada beberapa mata pelajaran tidak mungkin memberikan
informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah
mengikuti pendidikan. Karena tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun
pelajaran tidak dapat memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan
peserta didik, tes tersebut tidak dapat memperhatikan proses belajar mengajar
dalam keseharian karena tes tertulis tidak dapat melihat aspek sikap, semangat
dan motivasi belajar anak selain itu pula tes di ujung tahun ajaran tidak dapat
menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya dan juga hasil tes tidak dapat
menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti pelajaran. Oleh
karena itu terjadi pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan bentuk
ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil belajar tidak bisa diukur hanya dengan
memberikan tes di akhir tahun ajaran saja.
Kedua, tujuan UAN yang lain dalam
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir
Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah untuk mengukur mutu pendidikan dan
mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional,
provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Adalah ironis kalau UAN dipakai
sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan, karena pendidikan
merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor.
Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak
mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu tidak
dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UAN. Dengan kata lain, UAN belum memenuhi
syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan
pendidikan kepada masyarakat.
Ketiga, jika dihubungkan dengan kurikulum,
maka UAN juga tidak sejalan dengan salah satu prinsip yang dianut dalam
pengembangan kurikulum yaitu diversifikasi kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan
kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi
sekolah di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi
sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi
yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah
di lingkungan kota relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap.
Tetapi di daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas,
bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat
ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN dengan standar yang sama untuk semua sekolah
di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan mengakibatkan ketidakadilan
bagi peserta didik yang tentu saja hasilnya akan jauh berbeda, sedangkan
kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka.
Keempat, pelaksanaan UAN hanya pada
beberapa mata pelajaran yang dianggap “penting” juga memiliki permasalahan
tersendiri. Sekarang yang terjadi orang akan beranggapan hanya matematika,
bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan IPA yang merupakan mata pelajaran penting.
Sedangkan ada diantara kita anak-anak yang memiliki bakat untuk melukis atau
olahraga, mereka akan meragukan bahwa pelajaran tersebut merupakan pelajaran
penting bagi dia. Sehingga bakat tersebut akan terkubur dengan sendirinya
karena yang ada di benak mereka adalah bagaimana mereka bisa lulus dalam UAN
tersebut. Dengan demikian pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran
akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan hanya mata pelajaran tersebut,
karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal ini dapat berakibat
terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang pada mata
pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi peremehan
terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima, tingkat kreativitas guru empat mata
pelajaran tersebut akan terkekang karena dikejar target untuk menyelesaikan
materi. Selain itu pula metode pembelajaran yang seharusnya bisa disajikan
secara menarik dan dikembangkan sesuai dengan implementasi peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari tergantikan dengan metode drill latihan soal dan peserta
didik hanya “dicekoki” dengan bagaimana dapat menjawab soal-soal pada empat
mata pelajaran tersebut.
Keenam, beberapa orang berpendapat bahwa
UAN bertentangan dengan kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut.
Kebijakan UAN dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi
daerah. Selain itu pada saat yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi
sekolah melalui manajemen berbasis sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi
hak dan tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UAN telah
membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti
kebijakan UAN yang diatur dari pusat. Selain itu UAN berfungsi untuk menentukan
kelulusan siswa. Padahal pendidikan merupakan salah satu bidang yang
diotonomikan, kecuali sistem dan perencanaan pendidikan yang diatur secara
nasional termasuk kurikulum.
Di sisi lain, dengan adanya
kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah melalui
kebijakan manajemen berbasis sekolah. UAN telah dijadikan alat untuk
“menghakim” siswa, tetapi dengan cara yang tanggung karena dengan memberikan
batasan nilai minimal 4.25. Dengan menetapkan nilai serendah itu, maka berarti
bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang ditetapkan sangat rendah.
Kalau direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4 dapat diartikan
hanya 40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal secara umum pada
bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk dinyatakan cukup atau
baik adalah di atas 6. Dengan kata lain, UAN selain menetapkan standar mutu
pendidikan yang sangat rendah telah “menghakimi” semua siswa tanpa melihat
latar belakang, situasi, kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar
mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan
1.3.2 UNTUK
MENGETAHUI EVALUASI PENDIDIKAN SEHARUSNYA DAN
MELURUSKAN KEBIJAKAN .
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya
bahwa UAN banyak bertentangan dengan evaluasi pendidikan bahkan dengan
tujuannya sendiri, sehingga sulit dipertahankan. Seandainya Pemerintah tetap
memilih untuk mempertahankan UAN maka selama itu perdebatan dan ketidakadilan
akan terjadi di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada
semua anak Indonesia yang kondisinya diakui berbeda-beda. Selain itu salah satu
prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak, artinya pendidikan harus mampu
mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Memperlakukan semua anak dengan
memberikan UAN sama artinya menganggap semua anak berpotensi sama untuk
menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya berbeda.
Sebaiknya, evaluasi sepenuhnya
diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya
dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan
cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes
masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan memiliki tes masuk yang
relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain
itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah
berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat. Dengan demikian akan terjadi
persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan lulusan yang terbaik dalam
arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu
pada UAN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya
kecurangan.
Pada umumnya sekolah berlomba-lomba
untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang
tinggi. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk
SLTP harus lanjut karena masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan
berlomba untuk membuat siswanya disamping lulus juga diterima di sekolah
berikutnya. Selain itu sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah
juga diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi
tetap diperlukan dalam memberikan petunjuk bagi guru agar dalam melakukan
evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku secara umum.
Apabila UAN tetap dipertahankan maka
tujuan dan pelaksanaannya harus dimodifikasi dimana UAN bukan bertujuan untuk
menentukan kelulusan siswa tetapi dipakai sebagai pengendalian mutu pendidikan.
Artinya UAN tidak perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa, tetapi untuk
mengetahui perkembangan pendidikan pada umumnya. Dengan tujuan ini maka standar
nilai UAN haruslah minimal 6 sebagaimana pada umumnya dan hanya berpengaruh
pada kredibilitas sekolah. Bila suatu evaluasi mengacu pada hal tersebut di
atas maka UAN bukanlah suatu kebijakan yang patut dipertentangkan lagi.
Oleh karena itu agar didapat suatu
kebijakan nasional yang utuh tentang sistem penilaian pendidikan maka
pemerintah dapat melakukan langkah perumusan ulang kebijakan UAN dan sistem
penilaian tersebut secara komprehensif dengan melakukan pelurusan
kebijakan-kebijakan tersebut. Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh antara
lain pembentukan Tim Perumusan Kebijakan Nasional tentang Penilaian Pendidikan.
Tim ini bisa dibentuk oleh Depdiknas yang BSNP menjadi leading sectornya
dan anggotanya bisa berasal dari elemen-elemen masyarakat pendidikan, termasuk
juga DPR Komisi Pendidikan, para pakar pendidikan, organisasi profesi
independen seperti PGRI, LSM pendidikan dan sebagainya. Kemudian tim tersebut
dapat melakukan evaluasi dan kajian terhadap semua kebijakan yang terkait
dengan penilaian pendidikan di negeri ini misalnya dengan melakukan studi
banding ke negara lain untuk mencari model yang sesuai dengan Indonesia dan
kemudian merumuskannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
serta melaporkan hasil kerjanya kepada Pemerintah. Hasil dari kegiatan kajian
tersebut akan menghasilkan butir-butir rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah dalam bidang penilaian pendidikan. Adapun kajian-kajian yang
dilakukan tersebut dapat berupa substansi seperti :
1. Pelaksana tugas penilaian,
seperti penilaian formatif, sumatif dan ujian akhir serta berbagai jenis
penilaian lainnya dari tinggkat dasar sampai perguruan tinggi
2. Pengembangan model-model ujian
akhir, penentu kelulusan atau tamat sampai dengan kemungkinan menggunakan ujian
akhir online (online assessment) perlu diantisipasi dalam era teknologi
informasi.
3. Bentuk-bentuk laporan pendidikan
seperti rapor, sistem peringkat, sistem pemberian skor atau nilai.
4. Apakah diperlukan adanya standar
kelulusan sebagimana telah ditetapkan dalam PP tentang Standar Nasional
Pendidikan?
5. Dan masih banyak yang lainnya
yang perlu dikaji secara mendalam.
Proses kajian dan evaluasi tersebut
akan menghasilkan rekomendasi yang akan menjadi pegangan utama pemerintah untuk
merumuskan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).
Terakhir, pemerintah mengeluarkan PP
atau setidaknya Peraturan Menteri tentang sistem penilaian pendidikan tersebut,
untuk kemudian dilaksanakan dimana PP ini secara komprehensif akan mengatur
tentang hal-hal sampai yang terkecil. Setelah PP dapat diterbitkan maka
kebijakan itu harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.
1.3.3. EVALUASI UJIAN NASIONAL DI INDONESIA TAHUN
2013 ,DAN PERBAIKAN SISTEM
Penundaan
ujian nasional di 11 provinsi menjadi berita utama di media massa dan menarik
perhatian Presiden untuk menginstruksikan dilakukannya investigasi terhadap
persoalan yang ada.Sementara proses investigasi masih berlangsung dan para
pengkritik di milis, media massa, ataupun media sosial menyoroti kekacauan
dalam pengelolaan administrasi ujian nasional, akan lebih bermanfaat jika kita
bisa menimba pelajaran dari realitas penyelenggaraan ujian nasional berdasarkan
prinsip-prinsip penilaian pendidikan dan menawarkan solusi perbaikan untuk masa
mendatang.Walaupun kritikan terhadap ujian nasional terus dilayangkan dan
Mahkamah Agung telah memenangi gugatan masyarakat lewat gugatan citizen lawsuit
soal penyelenggaraan ujian nasional pada 2009, pemerintah tetap melaksanakan
ujian nasional dengan alasan kebutuhan standardisasi.
Secara
legal, keputusan MA masih memberikan ruang bagi pemerintah untuk tetap
menyelenggarakan ujian nasional dengan catatan pemerintah telah meningkatkan
kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang
lengkap di seluruh daerah di Indonesia, serta mengambil langkah-langkah konkret
untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan
ujian nasional.Kebersikukuhan kedua pihak Kemdikbud versus pengkritik ujian
nasionalpada posisi masing-masing bisa menjadi penghambat proses pengembangan
dan penyempurnaan suatu sistem standardisasi dan penilaian pendidikan.Dalam
konteks negara Indonesia dengan tingkat kemajuan pendidikan yang sangat beragam
antardaerah, sistem penilaian hasil belajar peserta didik dipercaya bisa
memberikan gambaran standardisasi yang dibutuhkan sebagai bagian dari upaya
peningkatan mutu.
Bahkan,
dalam beberapa tahun terakhir ini, Amerika Serikat juga melaksanakan standar
pendidikan secara ketat untuk mengatasi ketertinggalan dari berbagai tes
perbandingan antarnegara. Tentu saja sistem penilaian pendidikan di mana pun
selalu menyisakan ruang untuk perbaikan. Peningkatan mutu pendidikan nasional
membutuhkan keterbukaan dari pihak pemerintah untuk mengkaji
kelemahan-kelemahan serta kearifan para pemerhati yang peduli terhadap
pendidikan untuk memberikan kesempatan dan ruang perbaikan sistem.
Perbaikan sistem penilaian pendidikan mencakup empat isu sentra. Pertama, prinsip penilaian belajar. Ada berbagai macam tujuan, bentuk, dan format penilaian belajar. Salah satu pepatah yang juga berlaku dalam penilaian belajar: Not everything that counts can be counted and not everything that can be counted counts (tidak semua yang bermakna bisa dihitung dan tidak semua yang bisa dihitung bermakna)
Mensyaratkan
adanya penilaian alternatif dan otentik dalam proses belajar mengajar.
Ujian berbentuk pilihan ganda seperti ujian nasional tentu saja tidak memadai untuk menilai prestasi, kemajuan, dan kekurangan peserta didik. Sebenarnya Kemdikbud sudah menerima kenyataan ini dan memutuskan ujian nasional bukan satu-satunya penentu kelulusan. Namun, upaya sosialisasi dan pelatihan di tingkat sekolah masih perlu terus dilakukan agar sekolah-sekolah mempunyai kepercayaan diri dan kompetensi untuk mengembangkan bentuk-bentuk penilaian yang lain guna melengkapi ujian nasional dan suatu saat nanti bahkan tidak lagi membutuhkan ujian nasional sebagai penilaian standar.
Ujian berbentuk pilihan ganda seperti ujian nasional tentu saja tidak memadai untuk menilai prestasi, kemajuan, dan kekurangan peserta didik. Sebenarnya Kemdikbud sudah menerima kenyataan ini dan memutuskan ujian nasional bukan satu-satunya penentu kelulusan. Namun, upaya sosialisasi dan pelatihan di tingkat sekolah masih perlu terus dilakukan agar sekolah-sekolah mempunyai kepercayaan diri dan kompetensi untuk mengembangkan bentuk-bentuk penilaian yang lain guna melengkapi ujian nasional dan suatu saat nanti bahkan tidak lagi membutuhkan ujian nasional sebagai penilaian standar.
Kenyataan
di lapangan menunjukkan sebagian besar guru di Indonesia pada saat ini masih
belum cukup kompeten dan terampil menyusun instrumen penilaian belajar yang
baik dan tepat. Tentu saja situasi ini tidak seharusnya dijadikan alasan
pembenaran untuk pelanggenganujian nasional tanpa batas. Kedua, pelanggaran dalam penyelenggaraan tidak semestinya
ditoleransi dengan label ekses dan oknum. Ini bukan persoalan persentase dalam
statistik. Dalam pendidikan, rasio pelanggaran (yang dianggap) sangat kecil
sudah menjadi persoalan sangat serius karena memberikan dampak modeling negatif
yang akan sangat merusak proses pendidikan karakter anak dan bangsa. Karena
nila setitik rusak susu sebelanga. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Skandal kecurangan guru dalam ujian ternyata juga terjadi di Amerika Serikat.
Juri memutuskan kepala dinas pendidikan beserta 35 pimpinan sekolah dan guru
bersalah atas manipulasi nilai ujian di Atlanta, akhir Maret 2013.
Kepala
Dinas Dr Beverly Hall, yang pernah dinobatkan sebagai kepala dinas teladan pada
2009, diancam hukuman penjara 45 tahun. Sistem pendidikan Atlanta telah
menghabiskan 2,5 juta dollar AS untuk investigasi pelanggaran ini. Temuan
paling penting dalam skandal ini adalah bahwa sistem imbalan bagi guru dan
pejabat yang berhasil menaikkan nilai ujian dan hukuman bagi yang tidak justru
telah memicu pelanggaran kode etik pendidik. Karena itu, sistem ini harus diinvestigasi
dan ditinjau ulang. Ketiga, kasus keterlambatan pencetakan dan distribusi soal-soal
ujian nasional tahun ini seharusnya mendorong pemerintah mulai memikirkan
administrasi secara online. Bagi banyak daerah di Nusantara, pelaksanaan ujian
online sungguh merupakan kemungkinan yang tak terbayangkan karena sejumlah
permasalahan infrastruktur. Dalam hal ini, Kemdikbud perlu merintis
kemungkinan-kemungkinan itu bersama PLN dan Kementerian Kominfo.
Pelaksanaan
ujian kompetensi guru secara online yang kurang mulus baru-baru ini seharusnya
tidak dijadikan bahan cemooh untuk menghambat langkah maju dan perbaikan sistem
secara berkelanjutan. Akhirnya, perbaikan sistem membutuhkan evaluasi secara
terus-menerus. Soal-soal dan sistem administrasi tes sering menjadi bahan
kajian terbuka dalam forum-forum para pakar dan peneliti. Bahkan, soal-soal
dalam tes terdahulu bisa diakses publik secara terbuka. Selama beberapa dekade
pelaksanaannya, ada banyak sekali perubahan dan kemajuan mendasar. Mekanisme
evaluasi internal ataupun hasil kajian publik telah memungkinkan tes-tes
tersebut meningkatkan keterandalannya
secara berkelanjutan.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Begitu banyak pertentangan tentang
kebijakan UAN dengan model evaluasi pendidikan yang seharusnya, tujuan
pendidikan nasional maupun dengan tujuan UAN itu sendiri. Dimana kebijakan UAN
kontra produktif bagi pendidikan nasional dan tujuan yang ingin dicapai menjadi
gagal total bahkan hanya menimbulkan masalah baru. Kecurangan sistematik tidak
hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional tapi juga
berdampak buruk bagi guru dan murid dan juga kreativitas murid terkungkung
karena perhatian dan porsi pembelajaran lebih besar pada mata pelajaran pilihan
pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia
cerdas, penuh kreativitas dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan
yang dihadapi.
Oleh karena itu pemerintah harus
mengkaji ulang tentang kebijakan UAN ini atau memberikan kepercayaan kepada tim
agar dapat melakukan kegiatannya secara optimal. Dengan cara demikian maka
perumusan kebijakan nasional pendidikan akan berjalan sesuai dengan aspirasi
masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perkembangan bangsa dan
Negara di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Soedijarto, Prof., DR, MA. 1993a. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan
Bermutu.Jakarta: Balai Pustaka.
Soedijarto, Prof., DR, MA. 1993b. Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Grasindo.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/19/11473218/Evaluasi.Ujian.Nasional
Artikel tentang Ujian Nasional yang sederhana tetapi aplikatif ini sangat rekomended. Thankyou for share. Salam kenal...
ReplyDelete