Saturday, October 4, 2014

Mimamsa Darsana



MIMAMSA DARSANA
 (Oleh: Komang Prasanti)

I.       Pendahuluan
Maswinara (1990) Sad Darsana merupakan bagian penulisan Hindu yang memerlukan kecerdasan yang tajam, penalaran serta perasaan, karena masalah pokok yang dibahasnya merupakan intisari pemahaman Veda secara menyeluruh dibidang filsafat. Filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian integral dari agama.
Filsafat juga merupakan pencarian rasional ke dalam sifat Kebenaran atau Realitas, yang juga memberikan pemecahan yang jelas dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan yang lembut dari kehidupan ini, di mana ia juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan pembebasan abadi dari penderita akibat kelahiran dan kematian.
Filsafat bermula dari keperluan praktis umat manusia yang menginginkan untuk mengetahui masalah-masalah transendental ketika ia berada dalam perenungan tentang hakekat kehidupan itu sendiri. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengetahui rahasia kematian, rahasia kekelan, sifat dari Jiva (roh), sang pencipta alam semesta ini. Dalam hal ini filsafat dapat membantu untuk mengetahui semua permasalahan ini, karena filsafat merupakan ekspresi diri dari pertumbuhan jiwa manusia, sedangkan para filsuf merupakan wujud lahiriahnya. Para pemikir kreatif dan para filsuf muncul pada setiap jaman dan mereka mengangkat serta mengilhami umat manusia.
Sad Darsana berasal dari akar kata “drs” yang bermakna “melihat”, menjadi kata darsana yang berarti “penglihatan” atau pandangan. Dalam ajaran filsafat Hindu, Darsana berarti pandangan tentang kebenaran. Sad Darsana berarti enam pandangan tentang kebenaran yang mana merupakan dasar dari filsafat Hindu.
A.    Hubungan Veda dengan Darsana
Veda merupakan sabda Brahman, wahyu Tuhan yang menjadi sumber ajaran dan pegangan hidup agama Hindu, sedangkan Darsana pandangan para Maharsi tentang kebenaran dan kemutlakan ajaran Veda dan alam semesta. Darsana Astika menjadikan Veda sebagai sumber kajian. Yang mana tujuan dari darsana adalah untuk memperkuat pemahaman terhadap ajaran suci yang terkandung dalam Veda. Dengan mendalami Darsana, akan memberikan pencerahan (kejernihan) dalam mendalami dan mengamalkan ajaran Veda.

B.     Pokok-pokok Ajaran Sad Darsana
1.      Samkhya
Ajaran ini dibangun oleh Maharsi Kapila, beliau yang menulis Samkhyasutra. Didalam sastra Bhagavata Purana disebutkan nama Maharsi Kapila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran Samkhya yang bersifat theistic. Karya sastra mengenai Samkhya yang kini dapat diwarisi adalah Samkhyakarika yang ditulis oleh Ivarakrsna. Ajaran Samkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatnya ajaran Samkhya dalam sastra-sastra, sruti-smrti, itihasa dan purana.
Kata Samkhya berarti : pemantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Samkhya bersifat realistis karena didalamnya mengakui realitas dunia ini yang bebas dan roh. Disebut dualistis karena terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusa dan prakrti.

2.      Yoga
Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali dan merupakan ajaran yang sangat populer di kalangan umat Hindu. Ajaran Yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Veda. Yoga berakar dari kata Yus yang berarti berhubungan. Yaitu bertemunya roh individu (atman/purusa) dengan roh universal (paratman/mahapurusa). Maharsi Patanjali mengartikan Yoga sebagai Cittavrttinirodha yaitu penghentian gerak pikiran.
Kitab Yogasutra, yang terbagi atas empat bagian dan secara keseluruhan mengandung 194 sutra. Bagian pertama disebut : Samadhipada, sedangkan bagian ke dua disebut : Sadhanapada, bagian ketiga disebut : Vibhutipada dan yang terakhir disebut : Kailvalyapada.

3.      Mimamsa
Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara khusus melakukan pengkajian pada bagian Veda Brahmana dan Kapalsutra. Sumber ajaran ini tertuang dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi kedalam 60 pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut Veda.

4.      Nyaya
Ajaran Nyaya didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang mentusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analisis dan kritis. Ajaran ini berdasarkan pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analisis.
5.      Vaisiseka
Ajaran Vaisiseka dipelopori oleh Maharsi Kanada, yang menyusun Vaisisekasutra. Meskipun sebagai sistem filsafat pada awalnya berdiri sendiri namun dalam perkembangannya ajaran ini menjadi satu dengan Nyaya.

6.      Vedanta
Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Veda, yaitu Upanisad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti Akhir dari Veda. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwipayana.

II.            Pembahasan
          Maswinara (1999:169) menyatakan Purwa Mimamsa atau Karma Mimamsa, adalah penyelidikan ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Veda; suatu pencarian ke dalam ritual-ritual Veda atau bagian Veda yang hanya berurusan dengan masalah Mantra dan Brahmana saja. Disebut Purva Mimamsa karena ia lebih awal (Purva) dari pada Uttara Mimamsa (Vedanta), dalam pengertian logika, dan tidak demikian banyak dalam pengertian kronologis.
          Mimamsa sebenarnya bukanlah cabang dari suatu sistem filsafat, tetapi lebih tepat kalau disebutkan sebagai satu sistem penafsiran Veda di mana diskusi filosofisnya sama dengan semacam ulasan kritis pada Brahman atau bagian ritual dari Veda, yang menafsirkan kitab Veda dalam pengertian berdasarkan arti yang sebenarnya. Masalah utama dari Purva Mimamsa adalah masalah ritual rsi Jaimini yang merupakan salah seorang murid dari maharsi Vyasa telah mensistematisir aturan-aturan dari Mimamsa dan menetapkan keabsahamnya dalam karyanya itu di mana aturan-aturannya sangat penting guna menafsirkan hukum-hukum Hindu.
          Konsep dari ajaran Mimamsa tentang kebebasan hanya bersifat negatif yaitu tidak lahir kembali dan bebas dari semua penderitaan.
Jiwa adalah sesuatu zat yang yang kekal abadi, apabila jiwa tersebut meninggalkan kematian, dan telah mengikuti ajaran-ajaran atau suruhan-suruhan Veda mengenai upacara maka jiwa tersebut akan menuju sorga walaupun tidak tahu sama sekali.
          Filsafat Mimamsa juga memberikan argumentasi yang bebas seperti halnya filsafat Jaina, dimana jiwa itu kekal abadi, dan filsafat ini menolak pandangan matrealis pada diri manusia.
Tetapi filsafat ini tidak membicarakan tentang kesadaran yang merupakan hal yang akiki dari jiwa. Sebab kesadaran itu akan tumbuh hanya dengan adanya kesatuan antara atman, tubuh dan obyek ilmu pengetahuan yang terdiri dari lima indra dan manas. Kebebasan jiwa tanpa badan, tidak mempunyai kesadaran untuk melakukan perbuatan, inilah yang terpenting dari filsafat Mimamsa. Jiwa yang terdapat dalam tubuh berbeda dengan ilmu pengetahuan (pramana).
Oleh Maharsi Prabhakara beliau mengatakan adanya lima sumber pramana (Pengetahuan) antara lain :
1.    Pratyaksa         : Pengamatan langsung
2.    Anumana         : menarik kesimpulan
3.    Upamana         : mengadakan perbandingan
4.    Sabda              : pembuktian (kesaksian kitab suci atau orang bijak)
5.    Arthapatti        : penyimpulan dari keadaan

Dan oleh Kumarila ditambahkan dengan :
6.    An-upalabdhi atau abhava-pratyaksa : yaitu pengamatan ketidakadaan.

          Satu sampai dengan nomor empat adalah sama dengan filsafat Nyaya hanya adanya sedikit tambahan terutama didalam Upamana dimana dalam filsafat Mimamsa diuraikan sebagai berikut : seorang melihat kera saat ia pergi kehutan, lutung dan pertimbangan.
          Dimana orang yang masuk hutan itu telah melihat kera untuk pertama kalinya, sehingga ia menyamakan bahwa kera tersebut sama dengan lutung, dimana ia memberikan kesimpulan dengan tidak melihat kenyataan inilah anumananya Mimamsa. Pengetahuan yang diperoleh dengan Arthapatti adalah perumpamaan yang kita tarik dari penjelasan yang bertentangan.
          Umpama bila kita melihat seseorang tidak pernah makan disiang hari akan tetapi badannya terus bertambah berat (gemuk) maka kita dapat menarik kesimpulan orang tersebut pasti makan diwaktu malam. Demikian pula manusia yang hidup dan tidak mempunyai rumah makan dapat kita menarik kesimpulan bahwa ia pasti ada dimana-mana.
Aliran lain dari filsafat Mimamsa yang diajarkan oleh Maha Rsi Kumarila Bhatta beliau menjelaskan mengenai pengamatan yang merupakan tambahan dari lima teori di atas yang disebut anupalabdi yang berarti tanpa pengamatan. Musna (1986:21)
          Pengamatan An-uplabdhi, yaitu pengamatan ketidak adaan obyek, jadi suatu cara pembuktian bahwa obyek yang dimaksudkan itu benar-benar tidak ada. Misalnya : pergilah dan lihat apakah ada seekor gajah dibangsal itu; kita pergi dan melihat bahwa memang benar tidak ada gajah sama sekali di sana, karena kita tidak melihat seekor gajahpun ada di sana. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa di sana memang tidak ada gajah. Inilah yang disebut sebagai pengamatan An-upalabdhi.
          Pendit (2007:129) tujuan aliran Mimamsa ini adalah untuk membantu ritualisme, yang terpenting dengan dua jalan :
a)    Dengan jalan memberikan suatu metodologi interpretasi untuk membantu memahami rumusan-rumusan Veda yang rumit mengenai hal-hal ritual, diharmoniskan untuk mengikutinya tanpa kesukaran, dan
b)   Dengan jalan memberikan justifikasi filosofis tentang kepercayaan dimana ritualisme tergantung padanya. Dalam hal ini kita berkepentingan dengan aspeknya yang kedua yaitu aspek filsafat dari aliran Mimamsa.
Sutra karya Jaimini telah meletakkan dasar aliran Purwa Mimamsa ini. Sabarasvami telah menulis komentar utama atau bhasya atas karya ini. Secara etimologis perkataan Mimamsa berarti “pemecahan suatu problema dengan refleksi dan pemeriksaan yang kritis”. Karena pokok persoalannya berkisar pada karma atau ritual, maka Mimamsa juga kadang-kadang disebut Karma atau Dharma Mimamsa. Filsafat Mimamsa ini dapt diuraikan secara baik menurut pokok-pokok antara lain : Teori Pengetahuan, Metafisika dan Etika serta Teologi.

2.1.Teori Pengetahuan Mimamsa
Mimamsa berusaha untuk membuktikan kewenangan kitab-kitab suci Veda. Karena itu Mimamsa telah mengupas panjang lebar sifat-sifat pengetahuan, sifat dan kriteria kebenaran maupun kepalsuan, berbagai sumber pengetahuan yang sah (pramana) dan problema-problema lain yang berkaitan. Epistemologi Mimamsa menguraikan berbagai masalah yang sangat penting. Aliran-aliran lain, teristimewa Vedanta, secara bebas menggunakan peristilahan Mimamsa dalam soal-soal epistemologi. Kita akan temui disini secara singkat beberapa hal yang aneh dan penting.




2.2.Sifat Dan Sumber-Sumber Pengetahuan
Mimamsa, seperti juga hampir semua aliran filsafat lainnya, mengakui adanya dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan langsung dan yang tak langsung. Pengetahuan sah adalah suatu pengetahuan yang mengungkapkan informasi baru tentang sesuatunya, yang tidak bertentangan dengan pengetahuan lain dan tidak dihasilkan dari atau dilarikan oleh kondisi cacat (sepoerti alat indera cacat dalam hal pengetahuan persepsional, prinsp-prinsip salah dalam hal kesimpulan dan lain sebagainya).
Objek pengetahuan langsung haruslah sesuatu yang bereksistensi (sat). Hanyalah objek serupa itu apabila dihubungkan dengan indra (yaitu salah satu dari lima indra luar dan indra dalam, manah) menimbulkan dalam jiwa suatu pengetahuan langsung tentang objek tersebut.
1)   Tatkala suatu objek dihubungkan dengan indra, pertama-tama timbul suatu kesadaran yang kosong tentang objek tersebut. Kita hanya tahu bahwa itu adalahobjek, tetapi kita belum mengerti apa itu. Pengetahuan langsung pertama yang belum dapat dipastikan ini disebut nirvikalpaka pratyaksa atau alocana-jnana.
2)   Tatkala pada tingkat berikut kita interpretasikan arti objek ini dengan ingatan berdasarkan pengetahuan kita di masa lampau dan mengerti apa itu, yaitu termasuk golongan apa, kualitas apa, kegiatan dan nama yang dimiliki, kita lalu mempunyai suatu persepsi yang dapat dipastikan (savikalpaka) yang dinyatakan dalam keputusan seperti : “ini adalah orang”, “ini memiliki sebuah tingkat”, “ini adalah putih”, “ini adalah bergerak”, “ini adalah amat”, dan sebagainya.

2.3.Sumber Pengetahuan Yang Non-Persepsional
Selain persepsi ada lima sumber pengetahuan sah yang lain yang dinyatakan oleh Mimamsa, yaitu: kesimpulan (anumana), perbandingan (upamana), wewenang atau kesaksian (sabda), hipotesis, perkiraan (arthapatti) dan non-persepsi (anupalabdhi). Yang terakhir hanya diterima oleh aliran Kumarilla Bhatta tetapi tidak oleh Prabhakara. Teori Mimamsa tentang kesimpulan kurang lebih sama dengan teori Nyaya dan kiranya tidak perlu lagi dijelaskan disini. Keempat sumber pengetahuan non-persepsional akan dijelaskan di bawah ini.
1.      Perbandingan (Upamana)
Dalam pembicaraan di bab-bab terdahulu telah dijelaskan bahwa Nyaya mengakui perbandingan sebagai sumber pengetahuan yang unik. Aliran Mimamsa, walaupun menerima upamana sebagai suatu sumber pengetahuan tersendiri, namun menerimanya dalam artian lain. Menurutnya, pengetahuan muncul dari perbandingan tatkala, pada saat kita melihat objek yang sekarang tampak sama seperti objek yang diketahui di masa lampau, kita jadi mengetahui bahwa objek yang diingat itu seperti objek yang sedang dilihat. Suatu contoh akan membuat hal yang ini menjadi terang : setelah melihat seekor curut orang mengetahui bahwa binatang tersebut seperti seekor tikus yang dilihat di masa lampau, dan kemudian ia memperoleh pengetahuan bahwa tikus yang diingatnya dulu sama seperti curut yang dilihatnya sekarang. Pengetahuan “tikus yang dilihat di masa lampau seperti curut” ini diperoleh dari perbandingan atau dari pengetahuan suatu persamaan antara curut dan tikus. Sama halnya dengan orang yang telah melihat seekor sapi dahulu di kampung, pergi ke hutan dan menemukan seekor banteng dan melihat persamaannya dengan sapi di kampung. Ia jadi bisa memperoleh pengetahuan lebih jauh melalui perbandingan yaitu dengan jalan pengalaman persamaan tersebut, bahwa sapi di kampung sama dengan banteng.

2.      Wewenang Atau Kesaksian (Sabda)
Mimamsa mencurahkan perhatian terbesar pada sumber pengetahuan ini, karena ia harus membuktikan wewenang kitab-kitab suci Veda.
Suatu kalimat yang pasti dan jelas menghasilkan pengetahuan kecuali apabila kalimat tersebut dikenal sebagai pernyataan dari seorang yang tak dapat dipercaya (anapta-vakya). Ini dikenal sebagai lisan atau hanya testimoni (sabda) atau wewenang. Ada dua macam wewenang, yaitu yang bersifat manusia (personal) (pauruseya) dan bukan manusia (impersonal) (apauruseya). Yang pertama terdapat dalam kesaksian tertulis atau lisan dari seseorang. Yang kedua menyatakan wewenang dari kitab-kitab suci Veda. Lebih jauh wewenang berarti pertama memberikan informasi tentang eksistensi objek-objek (siddhartha-vakya), atau kedua memberikan petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaan suatu tindakan (vidhayaka vakya). Mimamsa terutama menaruh perhatian pada wewenang bukan dari manusia melainkan dari kitab suci Veda, lagipula kitab-kitab suci Veda memberikan petunjuk bagi pelaksanaan persembahan ritual. Kitab suci Veda dipandang sebagai “Kitab Firman Dharma”; dan di situlah letak nilai wewenangnya. Bahkan Mimamsa berpendapat bahwa satu-satunya penggunaan kitab suci Veda terletak pada petunjuk-petunjuk ritual; bagian-bagian manapun yang tidak mengandung petunjuk-petunjuk demikian, tetapi hanya berisi informasi tentang eksistensi sesuatu, adalah tak berguna kecuali kalau dapat dibuktikan bahwa sekurang-kurangnya ia bertujuan untuk menunjukkan kalimat-kalimat eksistensial (mengenai jiwa, tanpa-kematian dan sebagainya) yang secara tak langsung berhubungan dengan suatu petunjuk dengan jalan mendorong orang untuk melaksanakan ritual atau menghalang-halangi mereka dari kegiatan yang dilarang.

3.      Hipotesis (Arthapatti)
Arthapatti adalah hipotesis penting dari fakta yang tak dapat dilihat yang ia sendiri dapat menjelaskan sebagai suatu gejala yang membutuhkan penjelasan. Apabila suatu gejala diberikan sedemikian rupa sehingga kita tidak dapat mengertinya dengan jalan bagaimanapun tanpa hipotesis suatu fakta yang lain, kita harus mengasumsikan fakta yang lain itu dengan jalan menjelaskan gejalanya. Proses menjelaskan suatu gejala yang tidak mungkin tanpa penjelasan ini dengan penekanan pada mejelaskan fakta tersebut dinamakan arthapatti.

4.      Non-Persepsi (Anupalabdi)
Menurut Bhatta Mimamsa dan Advaita Vedanta, non-persepsi (anupabdhi) adalah sumber pengertian kita yang langsung dari non-eksistensi suatu objek. Kaum Bhatta dan Advaitin berpendapat bahwa non-eksistensi kendi di atas meja diketahui dari absennya pengetahuannya yaitu dari non-persepsinya (anupalabdhi). Saya tahu bahwa kendi itu tidak ada di atas meja karena ia tidak terlihat. Juag tidak dapat dikatakan bahwa non-eksistensi kendi itu disimpulkan dari non-persepsinya. Karena kesimpulan semacam itu hanya mungkin kalau kita lelah memiliki pengetahuan suatu hubungan universal anatara non-persepsi dan non-eksistensi, yaitu apabila kita mengetahui bahwa apabila suatu objek tidak terlihat berarti ia tidak ada. Jadi ini akan berarti meminta-minta masalah atau asumsi dari benda itu sendiri yang masih dicari pembuktiannya dengan kesimpulan. Demikian pula kita tak bisa menjelaskan pengetahuan tentang non-eksistensi kendi itu dengan cara perbandingan (upamana) atau kesaksian, karena ini bukan disebabkan oleh pengetahuan tentang non-eksistensi kendi itu harus mengakui non-persepsi (anupalabdhi) sebagai suatu sumber pengetahuan tersendiri dan merdeka.

2.4.Sahnya Pengetahuan
1)      Sahnya pengetahuan timbul dari kondisinya sendiri yang menyebabkan timbulnya pengetahuan tersebut, dan bukan dari kondisi-kondisi tambahan manapun (pramanyam svatah utpadyate).
2)      Sahnya pengetahuan juga dipercayai atau diketahui segera setelah pengetahuan itu muncul; percaya tiada lagi menunggu verifikasi pengetahuan tersebut dengan menggunakan pengetahuan lain, katakanlah misalnya suatu kesimpulan (pramayam svatah jnayate ca). Pandangan Mimamsa ini, dalam aspek gandanya (kembarnya) dikenal sebagai teori validitas intrinsik, keabsahan yang sahih, (svatah-pramanya-vada).

2.5.Metafisika Mimamsa
1)      Sikap-Pandangan Umum
Jiwa adalah substansi yang kekal dan abadi, demikianlah unsur-unsur materi yang dengan kombinasinya membuat dunia ini. Hukum karma sudah dipandang cukup untuk menuntun formasi objek-objek tersebut. Dunia ini diciptakan atas :
a)      Jasmani-jasmani yang hidup yang didalamnya jiwa-jiwa memetik buah hasil dari perbuatan mereka di masa lampau (bhogayatana).
b)      Alat-alat penggerak dan indria yang merupakan instrumen untuk menderita atau menikmati semua hhasil buah tersebut (bhoga-sadhana) dan
c)      Objek-objek yang merupakan buah hasil yang harus diderita atau dinikmati (bhogavisaya).
Metafisika Mimamsa karenanya bersifat pluralistis dan realistis. Ia bukan emprisisme karena ia percaya akan sumber-sumber pengetahuan kitab-kitab suci Veda yang non-empiris, yang bahkan dianggap lebih dapat diandalkan daripada pengalaman-pengalaman indra dan juga karena percaya pada banyak kenyataan seperti energi potensial, prinsip-prinsip moral yang abstrak, sorga, neraka dan sebagainya yang tak dapat dikenal dengan pengalaman-pengalaman indra.

2)      Teori Energi Potensial (Sakti Dan Apurva)
Dalam hubungannya dengan masalah hukum sebab-akibat Mimamsa merumuskan teori energi potensial. Suatu benih memiliki pada dirinya sendiri kekuatan yang tak dapat dilihat (sakti) dan dengan kekuatan itu benih melahirkan kecambah; apabila kekuatan ini dihalangi atau dihancurkan (misalnya benih itu digoreng) maka ia gagal menghasilkan efeknya. Sama halnya di dalam api ada kekuatan membakar, kekuatan menyatakan arti dan mengurangi kegiatan dalam sebuah kata, kekuatan menerangi dalam cahaya dan sebagainya. Pentingnya mengakui potensi yang tak dapat dilihat demikian itu dalam suatu sebab adalah menjelaskan mengapa dalam beberapa hal walaupun sebab itu (umpamanya benih, api dan sebagainya) ada, namun efeknya (kecambah, membakar dan sebagainya) tidak muncul. Penjelasannya adalah bahwa dalam hal-hal demikian, walaupun substansi sebab itu ada, potensi kausalitasnya atau sebabnya telah dihancurkan atau dikalahkan sementara, umpanya oleh kondisi-kondisi yang mengahalanginya yang terdapat di situ.

3)      Konsepsi Mimamsa Tentang Jiwa
Konsepsi jiwa dalam Mimamsa kurang-lebih sama dengan yang ada dalam aliran-aliran lain yang realistis dan pluralistis seperti aliran Nyaya-Vaisesika. Jiwa adalah substansi kekal abadi tak berbentuk yang dihubungkan dengan suatu badan-jasmani nyata dalam suatu dunia nyata dan ia tinggal hidup melampaui kematian untuk bisa memetik buah hasil perbuatannya dalam hidup ini. Kesadaran bukanlah intisari jiwa, melainkan suatu kualiatas permulaan yang akan muncul bila ada beberapa kondisi. Dalam keadaan tidur tanpa mimpi dan dalam keadaan kelepasan, jiwa tidak memiliki kesadaran, sebab kondisi-kondisinya, seperti hubungan indra dengan objek, tidak ada. Banyaknya jiwa yang adalah sama dengan jumlah individu. Jiwa-jiwa ini mengalami belenggu tetapi juga mengalami kelepasan. Dalam semua hal ini alasan-alasan yang dikemukakan oleh aliran Mimamsa adalah sama dengan aliran-aliran filsafat yang disebut terdahulu, dan kiranya tak perlu tak perlu diulangi lagi disini.


2.6.Agama Dan Etika Mimamsa
1)      Tempat Kitab-Kitab Suci Veda Dalam Agama
Kaum Mimamsa tidak percaya adanya suatu pencipta dunia ini. Dalam upayanya menempatkan kitab-kitab suci Veda yang kekal-abadi pada tempat yang tertinggi, Mimamsa tak dapat percaya adanya Tuhan, yang wewenangnya mengatasi atau sekurang-kurangnya sama dengan kitab-kitab suci Veda. Menurut Mimamsa kitab-kitab suci Veda tidak begitu banyak menyandang kebenaran abadi dibandingkan dengan undang-undang kekal abadi yang sejalan dengan pelaksanaan upacara-upacara persembahan. Agama atau Dharma jadi serupa dengan undang-undang yang terdapat dalam kitab-kitab suci Veda (codana-laksano’rtho dharmah). Kitab-kitab suci Veda memberikan petunjuk-petunjuk apa yang benar apa yang salah. Hidup yang baik adalah hidup yang mematuhi perintah-perintah kitab-kitab suci Veda

2)      Konsepsi Tentang Tugas Kewajiban
Kaum Mimamsa percaya bahwa, walaupun tugas yang diwajibkan tidak harus dilakukan berdasarkan suatu motif, namun alam semesta ini sudah sedemikian bentuknya sehingga seseorang yang melakukan kewajibannya tidak akan samasekali tidak diberi pahala. Bedanya adalah jika untuk tujuan ini Mimamsa mengasumsikan di dalam alam semesta ini adanya hukum moral dari karama itu adalah Jiwa. Demikian pula, apabila sumber kewajiban adalah jiwa yang lebih tinggi (yang memerintah yang lebih rendah: “engkau harus melakukan apa yang baik”), bagi para Mimamsaka adalah kewenanagan Veda yang impersonal yang secara kategori menentukan kewajiban.




3)      Kebajikan Tertinggi
Dalam konsepsi awal dari Mimamsa kebajikan tertinggi adalah pencapain Sorga atau suatu keadaan dimana terdapat kebahagiaan tiada tara. Sorga dipandang sebagai tujuan yang diharapkan dalam suatu upacara persembahan. Para penulis Mimamsaka lambat laun bergabung dengan para filosof Hindu lainnya dan menerima pelepasan dari belenggu jasmani sebagai kebajikan tertinggi (nihsreyasa). Mereka menyadari bahwa pelaksanaan tindakan, baik atau buruk, apabila dipengaruhi oleh keinginan menikmati objek, akan mengakibatkan kelahiran berulang kali. Apabila seseorang memahami bahwa kesenangan duniawi senantiasa bercampur dengan kesedihan, dan menyebabkan rasa muak dengan kehidupan di dunia, maka ia akan mencoba mengontrol nafsunya, menolak perbuatan-perbuatan terlarang maupun tindakan-tindakan dengan motif mendapat kesenangan di kemudian hari. Dengan demikian kemungkinan untuk lahir kembali di masa depan menjadi terhapus. Dengan melakukan kewajiban secara tanpa pamrih dan dengan pengetahuan tentang jiwa, karma yang terakumulasi di masa lampau akan perlahan-lahan terhapus. Setelah hidup ini, orang semacam itu yang bebas dari ikatan segala macam karma, tidak akan pernah lahir kembali. Ia telah terbebaskan. Apabila belenggu adalah yang mengikat jiwa pada dunia melalui jasmani termasuk indra, organ motorik penggerak dan manas, maka pembebasan adalah penghancuran total belenggu semacam itu melalui  terhentinya kelahiran kembali.







III.        Penutup
Mimamsa adalah salah satu dari banyak contoh dalam sejarah manusia tentang bagaimana suatu pandangan yang terlalu diberi penekanan menjadi pengakhirannya, dan bagaimana dewa-dewa dikorbankan untuk kuil-kuil, nabi-nabi dan buku-buku suci. Dalam upayanya mempertahankan supremasi Veda, kaum Mimamsa menempatkan Tuhan dalam posisi yang tak jelas. Disinilah Vedanta berbeda dengannya, dengan menggunakan kepercayaannya pada kitab-kitab suci Veda untuk mengembangkan kepercayaan yang lebih besar pada Tuhan.

Previous Post
Next Post

0 comments: