MIMAMSA DARSANA
(Oleh: Komang Prasanti)
I.
Pendahuluan
Maswinara
(1990) Sad Darsana merupakan bagian
penulisan Hindu yang memerlukan kecerdasan yang tajam, penalaran serta
perasaan, karena masalah pokok yang dibahasnya merupakan intisari pemahaman Veda secara menyeluruh dibidang
filsafat. Filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu
bagian integral dari agama.
Filsafat juga
merupakan pencarian rasional ke dalam sifat Kebenaran atau Realitas, yang juga
memberikan pemecahan yang jelas dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan
yang lembut dari kehidupan ini, di mana ia juga menunjukkan jalan untuk
mendapatkan pembebasan abadi dari penderita akibat kelahiran dan kematian.
Filsafat
bermula dari keperluan praktis umat manusia yang menginginkan untuk mengetahui
masalah-masalah transendental ketika ia berada dalam perenungan tentang hakekat
kehidupan itu sendiri. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengetahui rahasia
kematian, rahasia kekelan, sifat dari Jiva
(roh), sang pencipta alam semesta ini. Dalam hal ini filsafat dapat
membantu untuk mengetahui semua permasalahan ini, karena filsafat merupakan
ekspresi diri dari pertumbuhan jiwa manusia, sedangkan para filsuf merupakan
wujud lahiriahnya. Para pemikir kreatif dan para filsuf muncul pada setiap
jaman dan mereka mengangkat serta mengilhami umat manusia.
Sad Darsana
berasal dari akar kata “drs” yang bermakna “melihat”, menjadi kata darsana yang
berarti “penglihatan” atau pandangan. Dalam ajaran filsafat Hindu, Darsana
berarti pandangan tentang kebenaran. Sad Darsana berarti enam pandangan tentang
kebenaran yang mana merupakan dasar dari filsafat Hindu.
A.
Hubungan Veda
dengan Darsana
Veda merupakan sabda Brahman, wahyu Tuhan yang menjadi sumber ajaran dan
pegangan hidup agama Hindu, sedangkan Darsana pandangan para Maharsi tentang
kebenaran dan kemutlakan ajaran Veda dan alam semesta. Darsana Astika
menjadikan Veda sebagai sumber kajian. Yang mana tujuan dari darsana adalah
untuk memperkuat pemahaman terhadap ajaran suci yang terkandung dalam Veda.
Dengan mendalami Darsana, akan memberikan pencerahan (kejernihan) dalam
mendalami dan mengamalkan ajaran Veda.
B.
Pokok-pokok
Ajaran Sad Darsana
1. Samkhya
Ajaran ini dibangun oleh Maharsi
Kapila, beliau yang menulis Samkhyasutra. Didalam sastra Bhagavata Purana
disebutkan nama Maharsi Kapila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran Samkhya
yang bersifat theistic. Karya sastra
mengenai Samkhya yang kini dapat diwarisi adalah Samkhyakarika yang ditulis
oleh Ivarakrsna. Ajaran Samkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan
termuatnya ajaran Samkhya dalam sastra-sastra, sruti-smrti, itihasa dan purana.
Kata Samkhya berarti : pemantulan,
yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Samkhya bersifat realistis karena didalamnya
mengakui realitas dunia ini yang bebas dan roh. Disebut dualistis karena
terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu
purusa dan prakrti.
2. Yoga
Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali dan merupakan ajaran yang
sangat populer di kalangan umat Hindu. Ajaran Yoga merupakan ilmu yang bersifat
praktis dari ajaran Veda. Yoga berakar dari kata Yus yang berarti berhubungan. Yaitu bertemunya roh individu (atman/purusa)
dengan roh universal (paratman/mahapurusa). Maharsi Patanjali mengartikan Yoga
sebagai Cittavrttinirodha yaitu
penghentian gerak pikiran.
Kitab Yogasutra, yang terbagi atas empat bagian dan secara keseluruhan
mengandung 194 sutra. Bagian pertama disebut : Samadhipada, sedangkan bagian ke dua disebut : Sadhanapada, bagian ketiga disebut : Vibhutipada dan yang terakhir disebut : Kailvalyapada.
3. Mimamsa
Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi
Jaimini, disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti
penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara khusus
melakukan pengkajian pada bagian Veda Brahmana dan Kapalsutra. Sumber ajaran
ini tertuang dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang
terbagi kedalam 60 pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara
menurut Veda.
4. Nyaya
Ajaran Nyaya didirikan oleh Maharsi
Aksapada Gotama, yang mentusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang
dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analisis dan kritis.
Ajaran ini berdasarkan pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analisis.
5. Vaisiseka
Ajaran Vaisiseka dipelopori oleh
Maharsi Kanada, yang menyusun Vaisisekasutra. Meskipun sebagai sistem filsafat
pada awalnya berdiri sendiri namun dalam perkembangannya ajaran ini menjadi
satu dengan Nyaya.
6. Vedanta
Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa
yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Veda, yaitu
Upanisad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti Akhir
dari Veda. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan
nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga
dengan nama Badarayana atau Krishna Dwipayana.
II.
Pembahasan
Maswinara (1999:169)
menyatakan Purwa Mimamsa atau Karma Mimamsa, adalah penyelidikan ke
dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Veda; suatu pencarian ke dalam ritual-ritual Veda atau bagian Veda
yang hanya berurusan dengan masalah Mantra
dan Brahmana saja. Disebut Purva Mimamsa karena ia lebih awal (Purva) dari pada Uttara Mimamsa (Vedanta), dalam pengertian logika, dan tidak
demikian banyak dalam pengertian kronologis.
Mimamsa
sebenarnya
bukanlah cabang dari suatu sistem filsafat, tetapi lebih tepat kalau disebutkan
sebagai satu sistem penafsiran Veda
di mana diskusi filosofisnya sama dengan semacam ulasan kritis pada Brahman atau bagian ritual dari Veda, yang menafsirkan kitab Veda dalam pengertian berdasarkan arti
yang sebenarnya. Masalah utama dari Purva
Mimamsa adalah masalah ritual rsi
Jaimini yang merupakan salah seorang murid dari maharsi Vyasa telah mensistematisir aturan-aturan dari Mimamsa dan menetapkan keabsahamnya
dalam karyanya itu di mana aturan-aturannya sangat penting guna menafsirkan
hukum-hukum Hindu.
Konsep dari ajaran Mimamsa
tentang kebebasan hanya bersifat negatif yaitu tidak lahir kembali dan bebas
dari semua penderitaan.
Jiwa adalah sesuatu zat yang yang kekal abadi, apabila jiwa tersebut
meninggalkan kematian, dan telah mengikuti ajaran-ajaran atau suruhan-suruhan Veda
mengenai upacara maka jiwa tersebut akan menuju sorga walaupun tidak tahu sama
sekali.
Filsafat Mimamsa juga
memberikan argumentasi yang bebas seperti halnya filsafat Jaina, dimana jiwa
itu kekal abadi, dan filsafat ini menolak pandangan matrealis pada diri
manusia.
Tetapi filsafat ini tidak membicarakan tentang kesadaran yang merupakan hal
yang akiki dari jiwa. Sebab kesadaran itu akan tumbuh hanya dengan adanya
kesatuan antara atman, tubuh dan obyek ilmu pengetahuan yang terdiri dari lima
indra dan manas. Kebebasan jiwa tanpa badan, tidak mempunyai kesadaran untuk
melakukan perbuatan, inilah yang terpenting dari filsafat Mimamsa. Jiwa yang
terdapat dalam tubuh berbeda dengan ilmu pengetahuan (pramana).
Oleh Maharsi Prabhakara beliau mengatakan adanya lima sumber pramana
(Pengetahuan) antara lain :
1.
Pratyaksa :
Pengamatan langsung
2.
Anumana :
menarik kesimpulan
3.
Upamana :
mengadakan perbandingan
4.
Sabda :
pembuktian (kesaksian kitab suci atau orang bijak)
5.
Arthapatti :
penyimpulan dari keadaan
Dan oleh Kumarila ditambahkan
dengan :
6.
An-upalabdhi atau abhava-pratyaksa : yaitu pengamatan
ketidakadaan.
Satu
sampai dengan nomor empat adalah sama dengan filsafat Nyaya hanya adanya
sedikit tambahan terutama didalam Upamana dimana dalam filsafat Mimamsa
diuraikan sebagai berikut : seorang melihat kera saat ia pergi kehutan, lutung
dan pertimbangan.
Dimana
orang yang masuk hutan itu telah melihat kera untuk pertama kalinya, sehingga
ia menyamakan bahwa kera tersebut sama dengan lutung, dimana ia memberikan
kesimpulan dengan tidak melihat kenyataan inilah anumananya Mimamsa.
Pengetahuan yang diperoleh dengan Arthapatti adalah perumpamaan yang kita tarik
dari penjelasan yang bertentangan.
Umpama
bila kita melihat seseorang tidak pernah makan disiang hari akan tetapi
badannya terus bertambah berat (gemuk) maka kita dapat menarik kesimpulan orang
tersebut pasti makan diwaktu malam. Demikian pula manusia yang hidup dan tidak
mempunyai rumah makan dapat kita menarik kesimpulan bahwa ia pasti ada
dimana-mana.
Aliran lain dari filsafat Mimamsa yang
diajarkan oleh Maha Rsi Kumarila Bhatta beliau menjelaskan mengenai pengamatan
yang merupakan tambahan dari lima teori di atas yang disebut anupalabdi yang
berarti tanpa pengamatan. Musna (1986:21)
Pengamatan An-uplabdhi, yaitu pengamatan ketidak
adaan obyek, jadi suatu cara pembuktian bahwa obyek yang dimaksudkan itu benar-benar
tidak ada. Misalnya : pergilah dan lihat apakah ada seekor gajah dibangsal itu;
kita pergi dan melihat bahwa memang benar tidak ada gajah sama sekali di sana,
karena kita tidak melihat seekor gajahpun ada di sana. Kita dapat menarik
kesimpulan bahwa di sana memang tidak ada gajah. Inilah yang disebut sebagai
pengamatan An-upalabdhi.
Pendit (2007:129) tujuan
aliran Mimamsa ini adalah untuk membantu ritualisme, yang terpenting dengan dua
jalan :
a)
Dengan jalan memberikan suatu metodologi interpretasi untuk
membantu memahami rumusan-rumusan Veda yang rumit mengenai hal-hal ritual,
diharmoniskan untuk mengikutinya tanpa kesukaran, dan
b)
Dengan jalan memberikan justifikasi filosofis tentang
kepercayaan dimana ritualisme tergantung padanya. Dalam hal ini kita
berkepentingan dengan aspeknya yang kedua yaitu aspek filsafat dari aliran
Mimamsa.
Sutra karya Jaimini telah meletakkan
dasar aliran Purwa Mimamsa ini. Sabarasvami telah menulis komentar utama atau bhasya atas karya ini. Secara etimologis
perkataan Mimamsa berarti “pemecahan suatu problema dengan refleksi dan
pemeriksaan yang kritis”. Karena pokok persoalannya berkisar pada karma atau
ritual, maka Mimamsa juga kadang-kadang disebut Karma atau Dharma Mimamsa.
Filsafat Mimamsa ini dapt diuraikan secara baik menurut pokok-pokok antara lain
: Teori Pengetahuan, Metafisika dan Etika serta Teologi.
2.1.Teori Pengetahuan
Mimamsa
Mimamsa berusaha untuk membuktikan kewenangan kitab-kitab suci Veda. Karena
itu Mimamsa telah mengupas panjang lebar sifat-sifat pengetahuan, sifat dan
kriteria kebenaran maupun kepalsuan, berbagai sumber pengetahuan yang sah (pramana) dan problema-problema lain yang
berkaitan. Epistemologi Mimamsa menguraikan berbagai masalah yang sangat
penting. Aliran-aliran lain, teristimewa Vedanta, secara bebas menggunakan
peristilahan Mimamsa dalam soal-soal epistemologi. Kita akan temui disini
secara singkat beberapa hal yang aneh dan penting.
2.2.Sifat Dan
Sumber-Sumber Pengetahuan
Mimamsa, seperti juga hampir semua aliran filsafat lainnya, mengakui adanya
dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan langsung dan yang tak langsung.
Pengetahuan sah adalah suatu pengetahuan yang mengungkapkan informasi baru
tentang sesuatunya, yang tidak bertentangan dengan pengetahuan lain dan tidak dihasilkan
dari atau dilarikan oleh kondisi cacat (sepoerti alat indera cacat dalam hal
pengetahuan persepsional, prinsp-prinsip salah dalam hal kesimpulan dan lain
sebagainya).
Objek pengetahuan langsung haruslah sesuatu yang bereksistensi (sat). Hanyalah objek serupa itu apabila
dihubungkan dengan indra (yaitu salah satu dari lima indra luar dan indra
dalam, manah) menimbulkan dalam jiwa
suatu pengetahuan langsung tentang objek tersebut.
1)
Tatkala suatu objek dihubungkan dengan indra,
pertama-tama timbul suatu kesadaran yang kosong tentang objek tersebut. Kita
hanya tahu bahwa itu adalahobjek, tetapi kita belum mengerti apa itu.
Pengetahuan langsung pertama yang belum dapat dipastikan ini disebut nirvikalpaka pratyaksa atau alocana-jnana.
2)
Tatkala pada tingkat berikut kita interpretasikan arti
objek ini dengan ingatan berdasarkan pengetahuan kita di masa lampau dan
mengerti apa itu, yaitu termasuk golongan apa, kualitas apa, kegiatan dan nama yang
dimiliki, kita lalu mempunyai suatu persepsi yang dapat dipastikan (savikalpaka) yang dinyatakan dalam
keputusan seperti : “ini adalah orang”, “ini memiliki sebuah tingkat”, “ini
adalah putih”, “ini adalah bergerak”, “ini adalah amat”, dan sebagainya.
2.3.Sumber Pengetahuan
Yang Non-Persepsional
Selain persepsi
ada lima sumber pengetahuan sah yang lain yang dinyatakan oleh Mimamsa, yaitu:
kesimpulan (anumana), perbandingan (upamana), wewenang atau kesaksian (sabda), hipotesis, perkiraan (arthapatti) dan non-persepsi (anupalabdhi). Yang terakhir hanya
diterima oleh aliran Kumarilla Bhatta tetapi tidak oleh Prabhakara. Teori
Mimamsa tentang kesimpulan kurang lebih sama dengan teori Nyaya dan kiranya
tidak perlu lagi dijelaskan disini. Keempat sumber pengetahuan non-persepsional
akan dijelaskan di bawah ini.
1.
Perbandingan (Upamana)
Dalam pembicaraan di bab-bab terdahulu
telah dijelaskan bahwa Nyaya mengakui perbandingan sebagai sumber pengetahuan
yang unik. Aliran Mimamsa, walaupun menerima upamana sebagai suatu sumber pengetahuan tersendiri, namun
menerimanya dalam artian lain. Menurutnya, pengetahuan muncul dari perbandingan
tatkala, pada saat kita melihat objek yang sekarang tampak sama seperti objek
yang diketahui di masa lampau, kita jadi mengetahui bahwa objek yang diingat
itu seperti objek yang sedang dilihat. Suatu contoh akan membuat hal yang ini
menjadi terang : setelah melihat seekor curut orang mengetahui bahwa binatang
tersebut seperti seekor tikus yang dilihat di masa lampau, dan kemudian ia
memperoleh pengetahuan bahwa tikus yang diingatnya dulu sama seperti curut yang
dilihatnya sekarang. Pengetahuan “tikus yang dilihat di masa lampau seperti
curut” ini diperoleh dari perbandingan atau dari pengetahuan suatu persamaan
antara curut dan tikus. Sama halnya dengan orang yang telah melihat seekor sapi
dahulu di kampung, pergi ke hutan dan menemukan seekor banteng dan melihat
persamaannya dengan sapi di kampung. Ia jadi bisa memperoleh pengetahuan lebih
jauh melalui perbandingan yaitu dengan jalan pengalaman persamaan tersebut,
bahwa sapi di kampung sama dengan banteng.
2.
Wewenang Atau
Kesaksian (Sabda)
Mimamsa mencurahkan perhatian terbesar
pada sumber pengetahuan ini, karena ia harus membuktikan wewenang kitab-kitab
suci Veda.
Suatu kalimat yang pasti dan jelas menghasilkan
pengetahuan kecuali apabila kalimat tersebut dikenal sebagai pernyataan dari
seorang yang tak dapat dipercaya (anapta-vakya).
Ini dikenal sebagai lisan atau hanya testimoni (sabda) atau wewenang. Ada dua macam wewenang, yaitu yang bersifat
manusia (personal) (pauruseya) dan
bukan manusia (impersonal) (apauruseya).
Yang pertama terdapat dalam kesaksian tertulis atau lisan dari seseorang. Yang
kedua menyatakan wewenang dari kitab-kitab suci Veda. Lebih jauh wewenang berarti
pertama memberikan informasi tentang eksistensi objek-objek (siddhartha-vakya), atau kedua memberikan
petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaan suatu tindakan (vidhayaka vakya). Mimamsa terutama menaruh perhatian pada wewenang
bukan dari manusia melainkan dari kitab suci Veda, lagipula kitab-kitab suci
Veda memberikan petunjuk bagi pelaksanaan persembahan ritual. Kitab suci Veda
dipandang sebagai “Kitab Firman Dharma”; dan di situlah letak nilai
wewenangnya. Bahkan Mimamsa berpendapat bahwa satu-satunya penggunaan kitab
suci Veda terletak pada petunjuk-petunjuk ritual; bagian-bagian manapun yang
tidak mengandung petunjuk-petunjuk demikian, tetapi hanya berisi informasi
tentang eksistensi sesuatu, adalah tak berguna kecuali kalau dapat dibuktikan
bahwa sekurang-kurangnya ia bertujuan untuk menunjukkan kalimat-kalimat
eksistensial (mengenai jiwa, tanpa-kematian dan sebagainya) yang secara tak
langsung berhubungan dengan suatu petunjuk dengan jalan mendorong orang untuk
melaksanakan ritual atau menghalang-halangi mereka dari kegiatan yang dilarang.
3.
Hipotesis (Arthapatti)
Arthapatti adalah
hipotesis penting dari fakta yang tak dapat dilihat yang ia sendiri dapat
menjelaskan sebagai suatu gejala yang membutuhkan penjelasan. Apabila suatu
gejala diberikan sedemikian rupa sehingga kita tidak dapat mengertinya dengan
jalan bagaimanapun tanpa hipotesis suatu fakta yang lain, kita harus
mengasumsikan fakta yang lain itu dengan jalan menjelaskan gejalanya. Proses
menjelaskan suatu gejala yang tidak mungkin tanpa penjelasan ini dengan
penekanan pada mejelaskan fakta tersebut dinamakan arthapatti.
4.
Non-Persepsi (Anupalabdi)
Menurut Bhatta Mimamsa dan Advaita
Vedanta, non-persepsi (anupabdhi)
adalah sumber pengertian kita yang langsung dari non-eksistensi suatu objek.
Kaum Bhatta dan Advaitin berpendapat bahwa non-eksistensi kendi di atas meja diketahui
dari absennya pengetahuannya yaitu dari non-persepsinya (anupalabdhi). Saya tahu bahwa kendi itu tidak ada di atas meja
karena ia tidak terlihat. Juag tidak dapat dikatakan bahwa non-eksistensi kendi
itu disimpulkan dari non-persepsinya. Karena kesimpulan semacam itu hanya
mungkin kalau kita lelah memiliki pengetahuan suatu hubungan universal anatara
non-persepsi dan non-eksistensi, yaitu apabila kita mengetahui bahwa apabila
suatu objek tidak terlihat berarti ia tidak ada. Jadi ini akan berarti meminta-minta
masalah atau asumsi dari benda itu sendiri yang masih dicari pembuktiannya
dengan kesimpulan. Demikian pula kita tak bisa menjelaskan pengetahuan tentang
non-eksistensi kendi itu dengan cara perbandingan (upamana) atau kesaksian, karena ini bukan disebabkan oleh
pengetahuan tentang non-eksistensi kendi itu harus mengakui non-persepsi (anupalabdhi) sebagai suatu sumber
pengetahuan tersendiri dan merdeka.
2.4.Sahnya Pengetahuan
1)
Sahnya pengetahuan timbul dari kondisinya sendiri yang
menyebabkan timbulnya pengetahuan tersebut, dan bukan dari kondisi-kondisi
tambahan manapun (pramanyam svatah
utpadyate).
2)
Sahnya pengetahuan juga dipercayai atau diketahui segera
setelah pengetahuan itu muncul; percaya tiada lagi menunggu verifikasi
pengetahuan tersebut dengan menggunakan pengetahuan lain, katakanlah misalnya
suatu kesimpulan (pramayam svatah jnayate
ca). Pandangan Mimamsa ini, dalam aspek gandanya (kembarnya) dikenal
sebagai teori validitas intrinsik, keabsahan yang sahih, (svatah-pramanya-vada).
2.5.Metafisika Mimamsa
1)
Sikap-Pandangan
Umum
Jiwa adalah
substansi yang kekal dan abadi, demikianlah unsur-unsur materi yang dengan
kombinasinya membuat dunia ini. Hukum karma sudah dipandang cukup untuk
menuntun formasi objek-objek tersebut. Dunia ini diciptakan atas :
a)
Jasmani-jasmani yang hidup yang didalamnya jiwa-jiwa
memetik buah hasil dari perbuatan mereka di masa lampau (bhogayatana).
b)
Alat-alat penggerak dan indria yang merupakan instrumen
untuk menderita atau menikmati semua hhasil buah tersebut (bhoga-sadhana) dan
c)
Objek-objek yang merupakan buah hasil yang harus diderita
atau dinikmati (bhogavisaya).
Metafisika Mimamsa karenanya bersifat pluralistis dan realistis. Ia bukan
emprisisme karena ia percaya akan sumber-sumber pengetahuan kitab-kitab suci
Veda yang non-empiris, yang bahkan dianggap lebih dapat diandalkan daripada
pengalaman-pengalaman indra dan juga karena percaya pada banyak kenyataan
seperti energi potensial, prinsip-prinsip moral yang abstrak, sorga, neraka dan
sebagainya yang tak dapat dikenal dengan pengalaman-pengalaman indra.
2)
Teori Energi
Potensial (Sakti Dan Apurva)
Dalam
hubungannya dengan masalah hukum sebab-akibat Mimamsa merumuskan teori energi
potensial. Suatu benih memiliki pada dirinya sendiri kekuatan yang tak dapat
dilihat (sakti) dan dengan kekuatan
itu benih melahirkan kecambah; apabila kekuatan ini dihalangi atau dihancurkan
(misalnya benih itu digoreng) maka ia gagal menghasilkan efeknya. Sama halnya
di dalam api ada kekuatan membakar, kekuatan menyatakan arti dan mengurangi
kegiatan dalam sebuah kata, kekuatan menerangi dalam cahaya dan sebagainya.
Pentingnya mengakui potensi yang tak dapat dilihat demikian itu dalam suatu
sebab adalah menjelaskan mengapa dalam beberapa hal walaupun sebab itu
(umpamanya benih, api dan sebagainya) ada, namun efeknya (kecambah, membakar
dan sebagainya) tidak muncul. Penjelasannya adalah bahwa dalam hal-hal
demikian, walaupun substansi sebab itu ada, potensi kausalitasnya atau sebabnya
telah dihancurkan atau dikalahkan sementara, umpanya oleh kondisi-kondisi yang
mengahalanginya yang terdapat di situ.
3)
Konsepsi
Mimamsa Tentang Jiwa
Konsepsi jiwa
dalam Mimamsa kurang-lebih sama dengan yang ada dalam aliran-aliran lain yang
realistis dan pluralistis seperti aliran Nyaya-Vaisesika. Jiwa adalah substansi
kekal abadi tak berbentuk yang dihubungkan dengan suatu badan-jasmani nyata
dalam suatu dunia nyata dan ia tinggal hidup melampaui kematian untuk bisa
memetik buah hasil perbuatannya dalam hidup ini. Kesadaran bukanlah intisari
jiwa, melainkan suatu kualiatas permulaan yang akan muncul bila ada beberapa
kondisi. Dalam keadaan tidur tanpa mimpi dan dalam keadaan kelepasan, jiwa
tidak memiliki kesadaran, sebab kondisi-kondisinya, seperti hubungan indra
dengan objek, tidak ada. Banyaknya jiwa yang adalah sama dengan jumlah
individu. Jiwa-jiwa ini mengalami belenggu tetapi juga mengalami kelepasan.
Dalam semua hal ini alasan-alasan yang dikemukakan oleh aliran Mimamsa adalah
sama dengan aliran-aliran filsafat yang disebut terdahulu, dan kiranya tak perlu
tak perlu diulangi lagi disini.
2.6.Agama Dan Etika
Mimamsa
1)
Tempat
Kitab-Kitab Suci Veda Dalam Agama
Kaum Mimamsa
tidak percaya adanya suatu pencipta dunia ini. Dalam upayanya menempatkan
kitab-kitab suci Veda yang kekal-abadi pada tempat yang tertinggi, Mimamsa tak
dapat percaya adanya Tuhan, yang wewenangnya mengatasi atau sekurang-kurangnya
sama dengan kitab-kitab suci Veda. Menurut Mimamsa kitab-kitab suci Veda tidak
begitu banyak menyandang kebenaran abadi dibandingkan dengan undang-undang
kekal abadi yang sejalan dengan pelaksanaan upacara-upacara persembahan. Agama
atau Dharma jadi serupa dengan undang-undang yang terdapat dalam kitab-kitab
suci Veda (codana-laksano’rtho dharmah).
Kitab-kitab suci Veda memberikan petunjuk-petunjuk apa yang benar apa yang
salah. Hidup yang baik adalah hidup yang mematuhi perintah-perintah kitab-kitab
suci Veda
2)
Konsepsi
Tentang Tugas Kewajiban
Kaum Mimamsa
percaya bahwa, walaupun tugas yang diwajibkan tidak harus dilakukan berdasarkan
suatu motif, namun alam semesta ini sudah sedemikian bentuknya sehingga
seseorang yang melakukan kewajibannya tidak akan samasekali tidak diberi
pahala. Bedanya adalah jika untuk tujuan ini Mimamsa mengasumsikan di dalam
alam semesta ini adanya hukum moral dari karama itu adalah Jiwa. Demikian pula,
apabila sumber kewajiban adalah jiwa yang lebih tinggi (yang memerintah yang
lebih rendah: “engkau harus melakukan apa yang baik”), bagi para Mimamsaka
adalah kewenanagan Veda yang impersonal yang secara kategori menentukan
kewajiban.
3)
Kebajikan
Tertinggi
Dalam konsepsi
awal dari Mimamsa kebajikan tertinggi adalah pencapain Sorga atau suatu keadaan
dimana terdapat kebahagiaan tiada tara. Sorga dipandang sebagai tujuan yang
diharapkan dalam suatu upacara persembahan. Para penulis Mimamsaka lambat laun
bergabung dengan para filosof Hindu lainnya dan menerima pelepasan dari
belenggu jasmani sebagai kebajikan tertinggi (nihsreyasa). Mereka menyadari bahwa pelaksanaan tindakan, baik atau
buruk, apabila dipengaruhi oleh keinginan menikmati objek, akan mengakibatkan
kelahiran berulang kali. Apabila seseorang memahami bahwa kesenangan duniawi
senantiasa bercampur dengan kesedihan, dan menyebabkan rasa muak dengan
kehidupan di dunia, maka ia akan mencoba mengontrol nafsunya, menolak
perbuatan-perbuatan terlarang maupun tindakan-tindakan dengan motif mendapat
kesenangan di kemudian hari. Dengan demikian kemungkinan untuk lahir kembali di
masa depan menjadi terhapus. Dengan melakukan kewajiban secara tanpa pamrih dan
dengan pengetahuan tentang jiwa, karma yang terakumulasi di masa lampau akan
perlahan-lahan terhapus. Setelah hidup ini, orang semacam itu yang bebas dari
ikatan segala macam karma, tidak akan pernah lahir kembali. Ia telah
terbebaskan. Apabila belenggu adalah yang mengikat jiwa pada dunia melalui
jasmani termasuk indra, organ motorik penggerak dan manas, maka pembebasan adalah penghancuran total belenggu semacam
itu melalui terhentinya kelahiran
kembali.
III.
Penutup
Mimamsa adalah salah satu dari banyak contoh dalam
sejarah manusia tentang bagaimana suatu pandangan yang terlalu diberi penekanan
menjadi pengakhirannya, dan bagaimana dewa-dewa dikorbankan untuk kuil-kuil,
nabi-nabi dan buku-buku suci. Dalam upayanya mempertahankan supremasi Veda,
kaum Mimamsa menempatkan Tuhan dalam posisi yang tak jelas. Disinilah Vedanta
berbeda dengannya, dengan menggunakan kepercayaannya pada kitab-kitab suci Veda
untuk mengembangkan kepercayaan yang lebih besar pada Tuhan.
0 comments: