Saturday, October 4, 2014

Acara Agama Hindu



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Orang Suci adalah orang yang disucikan oleh umatnya dan mempunyai kesucian hati dan pikiran untuk dapat menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi. Jadi, yang dimaksud Orang Suci adalah manusia yang memiliki kekuatan mata batin dan dapat memancarkan kewibawaan rohani, serta mempunyai kepekaan untuk menerima getaran-getaran gaib, dalam penampilannya menunjukkan ketenangan dan penuh welas asih, yang disertai kemurnian atau kebersihan lahir dan batin dan mengamalkan ajaran agama Hindu, tidak terpengaruh oleg gelombang hidup suka dan duka. Para orang suci itu dikenal karena jasa-jasanya, pengabdiannya, kepemimpinannya, dan keteladanannya. Adapula karena kemampuannya mengubah ayat-ayat suci Veda.
Dalam lontar Silakrama menyatakan tentang kemuliaan orang suci ialah :
bahyamabhyantaram saucam dwigha proktam dwijottamah mrijalabyam smrtam bahyam manah suddhir athantaram”.
Artinya :
Orang-orang yang termulia di antara para dwijati, sauca (kebersihan, kemurnian dan kesucian) itu disebutkan dua macamnya: lahir (jasmani) dan batin (rohani). Yang lahir karena tanah liaat dan air yang berikutnya adalah kesucian pikiran.

Sloka yang harus dilaksanakan agar bisa menjadi orang suci ialah :
“Adbhir gatrani sudhyanti manah satyena sudhyati widyatopobhyam bhutatma budhir jnanema sudhyati”.
Artinya:
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Disamping itu juga sebagai orang suci hendaknya memiliki kepribadian sebagai berikut :
1.      Bersih,
2.      Budiman,
3.      Tenang,
4.      Tangguh,
5.      Senang memberi maaf
6.      Lapang hati berdasarkan Maitri, Karuna, Mudita, dan Upeksa, serta
7.      Kasih sayang terhadap sesamanya.

1.2    Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pengertian pandita dan pinandita ?
2.      Bagaimanakah status dan wewenang pandita dan pinandita ?
3.      Bagaimanakah syarat-syarat calon pandita dan pinandita  ?

1.3    Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Tujuan Umum
Untuk memperluas wawasan tentang pengertian pandita dan pinandita, mengetahui status dan wewenang pandita dan pinandita, serta syarat-syarat calon pandita dan pinandita.

1.4    Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagi mahasiswa manfaatnya adalah dengan membaca makalah ini, mahasiswa dapat memperluas wawasan tentang pengertian pandita dan pinandita, mengetahui status dan wewenang pandita dan pinandita, serta syarat-syarat calon pandita dan pinandita.

2.      Bagi penulis manfaatnya adalah dapat lebih memahami dari pengertian pandita dan pinandita, mengetahui status dan wewenang pandita dan pinandita, serta syarat-syarat calon pandita dan pinandita.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Pandita dan Pinandita
Rohaniawan dalam ajaran agama Hindu yang bertugas secara langsung mengantarkan suatu upacara dikenal dengan berbagai nama. Dilihat dari tingkat penyuciannya umumnya hanya dibedakan atas dua golongan yaitu:
1.      Rohaniawan yang tergolong Dwijati, dengan sebutan Pandita atau Sulinggih.
Dalam istilah nasional juga disebut Pendeta. Kata dvijati berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata dvi yang artinya dua dan jati berasal dari akar kata ja artinya lahir. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang Guru Suci yang disebut Nabe. Maka dari itulah dalam upacara madiksa, yaitu upacara pengesahan untuk menjadi seorang Sulinggih atau pandita dilakukan nuwum atau juga disebut matapak.
Istilah Pandita juga berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya: terpelajar, pintar, bijaksana (orang arif bijaksana).
Istilah Pedanda di Bali mengandung arti yang sama dengan Dvijati. Mengenai istilah Viku erat hubungannya dengan Bhiksu (Bahasa Sansekerta) yang berasal dari kata Biks artinya minta-minta. Bhiksu artinya Pendeta minta-minta.
Dalam Catur Asrama tingkat yang terakhir disebut Bhiksuka, yang artinya masa kehidupan yang tidak lagi terikat dengan harta melainkan memusatkan perhatian menuju kesucian diri. Untuk menyambung hidupnya hanya mengandalkan dengan minta-minta.
Demikian pula halnya seorang Wiku atau Pendeta tidak lagi terikat akan harta benda, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sepatutnya didukung dari bantuan/dunia para sisyanya (murid-muridnya). Dengan demikian seorang Wiku/Pendeta/Sulinggih akan dapat lebih memusatkan diri pada kesucian dan mendoakan kesejahteraan dan keselamatan dunia.
Istilah-istilah lain yang juga sering digunakan di daerah Bali khususnya untuk menyebut rohaniawan yang tergolong Dwi Jati antara lain Rsi, Empu, Pedanda, Bujangga, Senggu, Dukuh, Danghyang, dan Bagawan. Istilah-istilah tersebut umumnya dipergunakan oleh keluarga-keluarga tertentu yang diterima secara tradisi.
2.      Rohaniawan yang tergolong Eka Jati, dengan sebutan Pinandita, Pemangku, Wasi.
Pinandita adalah rohaniawan yang bertugas selaku pembantu mewakili Pendeta, hal ini ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma dalam Maha Sabha II tahun 1968 yang menetapkan sebagai berikut:
Selaku pembantu mewakili Pendeta, ditetapkan adanya Pinandita terdiri dari:
a.       Pemangku,
b.      Wasi,
c.       Mangku Balian/Dukun.
d.      Mangku Dalang,
e.       Pengemban,
f.       Dang Acarya
Pemangku umumnya terkait dengan adanya suatu Pura tempatnya bertugas, sedangkan Wasi, atau Pinandita, Mangku Dalang, Mangku Balian/Dukun, Pengemban maupun Dang Acarya, tidak selalu memiliki ikatan dengan suatu tempat suci tertentu. Oleh karena itu mereka umumnya seperti melaksanakan tugas selaku rohaniawan yang bersifat umum, seperti melaksanakan upacara perkawinan, upacara manusa yadnya, upacara kematian dan lain-lainnya.
2.2    Status dan Wewenang Pandita dan Pinandita
1.      Status Pandita dan Pinandita
a.       Status Pandita/Pinandita
Status Pandita atau Pendeta atau Sulinggih adalah tergolong Dvijati, yang artinya lahir dua kali yaitu kelahiran pertama adalah kelahiran secara jasmani dari kandungan ibu. Kelahiran ini hanya bersifat kelahiran secara fisik jasmani. Sedangkan kelahiran yang kedua kalinya adalah kelahiran dari seorang guru suci yang disebut Nabe. Dalam arti kelahiran karena telah memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerohanian yang dilalui melalui pelaksanaan aguron-guron (berguru/belajar) serta telah diresmikan melalui upacara diksa atau Pudgala.
Kitab manu Smrti II. 146-148 menjelaskan sebagai berikut:
kamanmata pita caiman
yad utpadayato mithah,
sambhutim tasya tam
vidyad yad dhonavabhijayate.
acaryastasya yam yatim
vvidhivad veda paragah,
utpadayati savitrya
sa satya sa jara mara
utpadaka brahmadatror
gariyan brahmadah pita,
brahmajanma hi viprasya
pretya ceha ca sasvatam
Artinya :
Ibu dan bapa (guru rupaka) melahirkan dia karena nafsu, maka ia lahir dari perut
Ketahuilah ini adalah kelahiran jasmani.
Namun kelahiran yang berdasarkan penstabilan (dvijati) dengan (mantra) Savitri dari acarya (guru pengajian) yang telah mahir dalam veda, itulah kelahiran yang sebenarnya, yang utuh dan abadi (ajaramara).
Diantara yang melahirkan dan yang memberi pengetahuan
Mengenai Brahma (Tuhan) yang memberi pengetahuan mengenai Brahma adalah bapak yang lebih utama, karena lahirnya Brahmapada seorang bijaksana (virpra) sungguh abadi diakhirat maupun di sini (di dunia ini).

Pelaksanaan uapacara diksa sebagai perusahaan pada keedua (dwijati) ini bersifat merubah status yang bersangkutan setelah diikuti dengan disiplin yang cukup ketat. Ikatan disiplin yang pertama-tama yang patut dilaksanakan oleh seorang diksita dikenal dengan istilah catur bandana dharma artinya empat ikatan disiplin kehidupan kerohanian meliputi:



a)         Amari aran
Artinya yang bersangkutan sejak diresmikan menjadi seorang Pandita melalui upacara diksa tersebut wajib mengganti namanya yang dipakai saat masih walaka dengan nama yang baru sesuai dengan pemberian Nabe.

b)        Amari sesana
Artinya meninggalkan tugas dan kewajibannya semula saat sebelum madiksa dan mengganti dengan sesana kawikon. Yaitu tugas dan kewajiban serta disiplin kehidupan Pedanda. Misalnya tan wenang adol atuku (tidak boleh berjual beli), dan sebagainya.
c)         Amari wesa
Artinya meninggalkan dan mengganti atribut/tanda-tanda kawelakaannya dengan wesa atau ciri-ciri/identitas Pedanda. Misalnya dalam tata bhusana, tidak lagi boleh bercukur, melainkan bagi pendeta Siva yang laki-laki biasanya mengenakan dandanan rambut yang disebut aketujata memakai rupa atau disebut pula dengan malingga mudra di Bali dikenal dengan maprucut. Bagi yang wanita memakai dandanan rambut yang disebut anodong.
Pakaian saat memuja memakai:
1.      Sampet, yaitu secarik kain yang dilipat pada dadanya.
2.      Rudraksa, yaitu hiasan dari rangkaian buah ganitri yang dikenakan pada kedua bahunya.
3.      Kundala, yaitu anting-anting yang umumnya juga terbuat dari rangkaian buah ganitri.
4.      Kantha bharata, yaitu hiasan pada leher.
5.      Karna bharata, hiasan pada telinga.
6.      Guduha, yaitu gelang rangkaian biji/buah ganitri yang dikenakan pada kedua pergelangan tangannya.
7.      Bhava, yaitu hiasan pada kepala sering disebut dengan ketu

Pada saat melaksanakan pemujaan juga dilengkapi dengan peralatan pemujaan yang disebut Sivopakarana, serta gerakan tang yang bersifat magis yang disebut mudra atau pantangan.
Pakaian sehari-hari setelah menjadi Pendeta antara lain:
1.        Bagi Pendeta laki-laki, mengenakan: kain putih, kampuh kuning bertepi putih, ikat pinggang putih, bila keluar rumah tongkat. Boleh juga memakai jubah yang disebut kawaka rajeg
2.        Pendeta istri, memakai kain yang dasarnya kuning, boleh dengan motif kembang, baju warna putih, selendang kuning, ikat pinggang putih.
3.        Umulahaken kaguru susrusa
Yaitu melaksanakan dengan patuh dan berdisiplin ajaran guru (Nabe) serta selalu hormat dan patuh kepada guru (Nabe) termasuk keluarganya. Kesemua ciri-ciri/identitas tersebut hanya boleh digunakan oleh seorang yang telah resmi menjadi Pandita/Pendeta setelah melalui proses yang telah ditentukan.
Dengan melaksanakan disiplin yang ketat serta mengikuti segala aturan yang telah ditetapkan bagi seorang Sulinggih/Pandita yang dikenal dengan sasana Kawikon mengantarkan seseorang Pandita pada status sebagai orang Wuku/Dang Acarya/Sulinggih Dvijati.
Kedudukan Wiku/Pendeta/Pandita/Sulinggih selaku Dvijati adalah sesuatu kedudukan khusus yang hanya menuruti sasana serta sesuai dengan ketentuan PHDI.
Dengan status itu pula beliau memiliki tugas kewajiban dan wewenang yang berada  dengan seorang rohaniawan yang masih tergolong eka jati seperti Pinandita atau Pemangku.
b.      Status Pinandita/Pemangku
Status Pinandita, Pemangku, Wesi, Mangku Dalang dan sejenisnya tergolong dalam tingkat Eka Jati. Walaupun bagi seorang Pinandita, untuk mampu melaksanakan tugasnya juga perlu belajar/berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajari tidaklah setinggi Pandita/Sulinggih. Veda yang dipelajari sangat terbatas, umumnya hanya yang berhubungan dengan pangastawa. Upacara pengesahannya pun jauh berbeda dengan pengesahan menjadi Pandita/Sulinggih. Upacara yang dilakukan untuk seorang Pinandita hanya sampai pada tingakt pawintenan. Upacara pawintenan bahkan juga boleh dilaksanakan oleh umat secara umum, yang bermaksud untuk menyucikan diri. Misalnya sebelum akan mempelajari kitab-kitab suci, sebelum akan bertugas mengenai upacara yang agak besar dan sebagainya.
Upacara pawintenan ini boleh dilakukan berkali-kali. Berbeda dengan upacara Padiksaan yang hanya boleh dilakukan hanya sekali saja (tan wenang anyusuni diksa).
Dengan tingkatan upacara seperti ini tidak membawa perubahan status, sebagaimana yang dilakukan bagi seorang Pandita/Sulinggih.
Seorang Pinandita/Pemangku masih boleh bercukur, berpakaian layaknya masyarakat biasa, masih memiliki tugas dan kewajiban dalam berhubungan kemasyarakatan sebagai seorang wilaka. Namanya juga tidak diganti dengan nama yang baru, sebagaimana bhiseka seorang Pendeta/Sulinggih.
Seorang Pinandita/Pemangku dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh mempergunakan alat pemujaan sebagaimana alat pemujaan Pendeta/Sulinggih demikian pula tidak dibenarkan mempergunakan mudra atau pantangan (gerak tangan yang bersifat magis yang dilakukan oleh Pendeta/Sulinggih pada waktu melaksanakan pemujaan).
Pelanggaran dalam hal ini disebut nyumuka angwikoni awaknya dawak yang artinya menjadikan dirinya sendiri selaku Pendeta yang sesungguhnya belum berwenang untuk itu.
Bagi seorang Pinandita/Pemangku memiliki sasana khusus yang disebut sasana Pemangku antara lain:
a)      Gagelaran/Agem-agem/tata cara Pemangku melaksanakan tugasnya disesuaikan dengan ketentuan dalam lontar Kusuma Deva, Sangkul Putih serta Gagelaran Pemangku.
b)      Bagi Pemangku Dalang, sasananya/Gagelaran/agem-agemnya sesuai dengan Dharmaning Pandalangan, Panyudamalamdan Nyapu Leger.
Ciri-ciri umum yang dipergunakan bagi seorang Pinandita/Pemangku adalah:
a)      Rambut panjang atau boleh juga bercukur.
b)      Pakaian: memakai destar putih, baju putih, kampuh putih (dalam melaksanakan tugasnya/melakukan upacara). Sedangkan di luar itu masih di benarkan berpakaian sebagaimana umat lainnya.
c)      Dalam melakukan pemujaan memakai: genta, pasepan, bunga, Gandaksata, tempat tirta (kumba).

2.      Wewenang Pandita dan Pinandita
a.       Wewenang Pandita
Sesuai dengan keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, seorang Sulinggih, Pandita/Pendeta berwenang dalam menyelesaikan segala upacara/upakara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Kewenangan ini tidak terbatas pada upacara yang bersifat rutin maupun persembahan, melainkan juga termasuk menyelesaikan upacara yang bermakna mengesahkan, seperti upacara perkawinan, upacara pengangkatan anak, upacara penyembuhan dan sejenisnya.
Kewenangan seorang Sulinggih tidak secara otomatis diperoleh setelah menyelesaikan upacara padiksaan, melainkan masih diperlukan pengesahan yang bersifat legalitas. Pengesahan tersebut terkadang harus dilalui dalam beberapa tahapan lagi. Untuk berwenang menggunakan weda dan menyelesaiakan upacara-upacara tingkat sederhana, seorang Sulinggih/Pandita yang telah madiksa, harus melaksanakan upacara ngalinggihang Veda yang disaksikan oleh Nabenya serta Viku Saksi lainnya. Pada upacara ini seorang Sulinggih dites kembali apakah yang bersangkutan sudah menguasai Veda dengan baik atau belum.
Setelah upara ngalinggihang Veda ini dapat dilaksanakan dengan baik, barulah seorang Pandita/Sulinggih memiliki kewenangan menyelesaikan upacara tingkat yang tertentu, sesuai dengan ijin dari Nabenya. Untuk dapat menyelesaikan upacara tingkat yang benar (upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong Tiga). Seorang Pandita/Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam penguasaan veda yang diistilahkan apas sang linga, yaitu tingkat tertentu dalam penguasaan Veda.
Bagi Sulinggih yang telah berhasil melewati tahapan penguasaan veda sebagaimana tersebut di atas, maka tugas pokok seorang Pandita/Pendeta/Sulinggih adalah Ngeloka parasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat untuk memohon bantuan/membantu umat dalam hal kehidupan keagamaan secara umum. Dalam prakteknya lebih banyak membantu dalam pelaksanaan upacara agama. Di samping itu dalam hal kehidupan beragama sehari-hari, seperti bagaimana tata cara mendirikan pura, mendirikan rumah, mencari hari-hari baik untuk melaksanakan upacara, dan sejenisnya. Pendetalah sebagai tempat bersandarnya umat untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk yang diperlukan. Oleh karena itu Pendeta/Pandita juga disebut sebagai Guru Loka atau Dang Acarya yang artinya guru (di dunia ini) terutama dalam kehidupan keagamaan. Hubungan antara Pendeta/Pandita dengan umat dilukiskan sebagai hubungan Siva dengan sisyanya, dimana Pendeta-Pandita dipandang sebagai Siva, terutama pada saat beliau muput atau menyelesaikan suatu upacara, ngarga tirtha atau membuat tirta, serta melaksanakan tugas-tugas kependetaannya. Sedangkan umat dipandang sebagai sisyanya yang artinya sebagai murid dari Pandita/Pendeta/Sulinggih yang bersangkutan. Bilamana umat mengalami kesulitan untuk mendapatkan petunjuk dari kitab suci maka petunjuk Pandita itukah yang dijadikan sebagai penggantinya. Hal ini sejalan dengan kitab Manawa Dharmasastra yang menguraikan sebagai berikut:
Idanin dharma pramnanyaha,
Vedo’kilo darmamulam
Smrtisile ca tadvidam
Acarascaiva sadhunam
Atmanastustir eva ca
(Manawa Dharmasastra II. 6)

Artinya:
Seluruh pustaka suci weda adalah pertama daripada dharma, kemudian adat istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mengalami ajaran pustaka suci weda (Pendeta/Sulinggih), juga tata cara peri kehidupan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri pribadi.
           
Sedangkan bagi Pandita yang hanya melaksanakan penyucian diri (madiksa) semata-mata untuk kesucian diri-sendiri. Beliau tidak melaksanakan tugas Loka Para Sraya terutama yang berhubungan dengan tugas membantu umat dalam menyelesaikan upacara agama. Namun tugas dan kewajiban sebagai guru loka, dalam arti membimbing dan memberi petunjuk tentang ajaran agama tetap dilaksanakan sesuai dengan permintaan umat itu sendiri.
Dengan adanya ketentuan seorang Sulinggih/Pandita amari sasana maka seorang Pandita/Sulinggih, dibebaskan dari tugas-tugas dan kewajiban selaku warga masyarakat umum.
Tugas dan kewajiban Pandita/Pendeta/Sulinggih setiap harinya, adalah melaksanakan pemujaan yang dikenal dengan Nyurya Sewana. Yaitu melaksanakan pemujaan untuk menyucikan diri serta mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk di dunia ini (sarva prani hitakkarah). Pemujaan ini biasanya dilaksanakan di Merajan/tempat suci yang ada di rumahnya masing-masing. Tugas dan kewajiban harus dilaksanakan setiap hari kecuali karena sakit.
Sesuai dengan Keputusan Maha Sabha II Parisada Hindu Dharma Pusat tahun 1968, ditetapkan fungsi/tugas kewajiban Pendeta sebagai berikut:
Fungsi /tugas kewajiban pendeta (Ngeloka) Para Sraya:
a)      Memimpin umat dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan lahir batin,
b)      Melakukan pemujaan penyelesaian yadnya.
Pendeta sejak mendapat ijin ngeloka para sraya bagi kemantapan ngalinggihang veda, harus melakukan tirta yatra pemujaan pada tempat-tempat suci, terutama pada pura yang sangat keramat.
Dalam hubungannya dengan pembinaan umat menuju kepada kemantapan pelaksanaan ajaran agama seorang Sulinggih juga sangat di harapkan untuk melaksanakan tugas-tugas:
Dalam memimpin upacara yadnya menyesuaikan dengan ucap sastra (pustaka lontar) yang mengaturnya.
Sulinggih agar berkenan membimbing untuk meningkatkan kesucian dan kemampuan para Pinandita/Pemangku.
Aktif mengikuti paruman dalam rangka menyesuaikan, memantapkan dan mengingatkan ajaran agama dihubungkan dengan perkembangan kemajuan zaman.
Sulinggih/Pandita disamping memimpin menyelesaikan upacara yadnya, juga patut memberikan Upadesa untuk memantapkan pengertian dan pengalaman ajaran agama hindu.
b.      Wewenang Pinandita
Secara umum semua jenis Pinandita/Pemangku dengan berbagai sebutannya memiliki batas wewenang yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Pandita/Sulinggih dalam hal mengantarkan yadnya.
Maha Sabha II Parisada Hindu Dharma tahun 1968 metapkan fungsi/tugas/kewajiban Pinandita sebagai berikut:
Fungsi ngeloka para sraya sesuaio dengan ketentuan Pendeta tersebut di atas kecuali:
a)      Melakukan pawintenan, (menyucikan orang lain yang akan menjadi Pinandita/Pemangku)
b)      Untuk mendapat tirta pangentas (bagi Pitra Yadnya), harus dengan jalan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
c)      Menyelesaikan dewa yadnya dan manusa yadnya pada tingkat madudus alit.
Dalam keputusan Seminar Kesatuan tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, batas kewenangan seorang Pinandita/Pemangku tersebut dijabarkan lebih alnjut sebagai berikut:
            Seorang Pinandita/Pemangku berwenang:
a)      Nganteb upakara upacara pada khahyangan yang diamongnya.
b)      Dapat ngeloka para sraya sampai dengan madudus alit, sesuai dengan tingkat pawintenannya dan juga atas panugrahannya Sulinggih.
c)      Waktu melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih, dandanan rambut wenang agorta, berambut panjang, anyondong, menutup kepala dengan destar.
Dalam hubungan dengan Panca Yajna, batas kewenangan tersebut lebih lanjut dirinci sebagai berikut:
a)      Menyelesaikan upacara puja wali/piodalan sampai tingkat piodalan pada pura yang bersangkutan.
b)      Apabila Pinandita menyelesaikan upacara di luar Pura yang diamongnya atau upacara/upakara yajna itu diselenggarakan di luar Pura atau jenis upacara/upakara yajna tersebut bersifat rutin seperti puja wali/piodalan manusa yajna, bhuta yajna yang seharusnya dipuput dengan tirta Sulinggih, maka Pinandita boleh menyelesaikan dengan nganteb serta menggunakan tirta Sulinggih selengkapnya.
c)      Pinandita berwenang menyelesaikan upacara rutin di dalam pura dengan nganteb/masehe serta memohon tirta kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan Bhatara Bhatari yang melinggih atau yang distanakan di Pura tersebut termasuk upacara yajna membayar kaul dan lain-lain.
d)     Dalam menyelesaikan upacara Bhuta yajna/caru Pinandita diberi wewenang muput upacara Bhuta yajna tersebut maksimal sampai dengan tingkat menggunakan tirta Sulinggih.
e)      Dalam hubungan muput upacara Manusa Yajna Pinandita diberi wewenang dari upacara bayi lahir sampai dengan otonan bias dengan menggunakan tirta Sulinggih.
f)       Dalam hubungan dengan muput upacara Pitra Yajna Pinandita diberi wewenang sampai pada mendem sawa sesuai dengan catur drsta.
Dalam hubungan dengan pembinaan kehidupan beragama, Pinandita juga bertugas untuk menuntun umat dalam menciptakan ketertiban dan kehidmatan pelaksanaan upacara di Pura tempatnya bertugas, serta mengatur persembahyangan, maupun mengatur sajen yang akan dipersembahkan.
Di luar dari kegiatan di Pura, Pinandita/Pemangku bertugas untuk menjaga dan memelihara kelestarian dan kesucian pura.

2.3    Syarat-syarat Calon Pandita dan Pinandita
1.    Syarat-syarat Umum Calon Pandita/Pinandita
Secara umum syarat-syarat calon Pandita telah ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma dalam keputusan Maha Sabha II Tahun 1968 bahwa umat Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat dapat disucikan (didiksa).
            Adapun syarat-syaratnya adalah:
a)      Laki-laki yang sudah kawin/menikah.
b)      Laki-laki yang Nyukla Brahmacari
c)      Wanita yang sudah kawin/menikah
d)     Wanita yang tidak kawin (kanya)
e)      Pasangan suami istri
f)       Umue sudah dewasa
g)      Paham dalam bahasa kawi, Sanskrta, dan Indonesia. Memiliki pengetahuan umum, mendalami intisari ajaran-ajaran agama (filsafat, ethika dan ritual).
h)      Sehat lahir batin, ingatan tidak terganggu, tidak cendangga (cacat tubuh dan berbudi luhur).
i)        Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan.
Setelah memenuhi syarat tersebut, seorang calon Pandita masih harus memenuhi prosedur administrasi yang telah ditentukan yaitu:
a)      Calon diksa mengajukan permohonan untuk kepada Parisada Hindu Dharma setempat yang mewilayahinya selambat-lambatnya tiga bulan sebelum hari padiksaan.
b)      Permohonan disertai/dilampiri dengan surat:
Ø  Keterangan berbadan sehat
Ø  Surat keterangan kecakapan
Ø  Keterangan tidak tersangkut prakara
Ø  Keterangan berkelakuan baik
Ø  Riwayat hidup
c)      Permohonan ditebus kepada pemerintah setempat untuk dimaklumi.
d)     Parisada setempat seterimanya surat permohonan itu secepatnya melakukan penyelidikan dan testing bersama calon nabe, guna mendapat kepastian tentang terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat di depan.
e)      Penyelidikan dan testing bila perlu dapat diulang 3 atau 6 bulan kemudian apabila ternyata permohonan belum memenuhi syarat. Hasil penyelidikan/pengetesan itu disampaikan kepada Parisada atasannya (pusat) dengan tembusan kepada Paerisada setempat.
f)       Pemohon yang permohonannya ditolak dapat mengajukan permohonan lagi setelah berselang 3 bulan kemudiaanya sampai sebanyak 3 kali.
g)      Seorang pendeta yang baru didiksa, boleh mulai melakukan loka pala sraya setelah mendapat ijin untuk itu dari nabenya yang disaksikan oleh Parisada yang memberikan ijin diksa.
h)      Parisada ini wajib menyiarkan tentang hak loak pala sraya itu.
Demikianlah syarat-syarat seorang calon Pandita/Sulinggih yang ditetapkan secara formal melalui Keputusan Maha Sabha II Tahun 1968.
Disamping syarat-syarat tersebut dalam hubungan antara nabe dengan sisya (calon diksa) itu sendiri justru yang lebih mendapat perhatian adalah aspek mental dan spritualnya atau aspek kepribadiannya. Oleh karena itu dalam sistem aguron-guron dikenal adanya hubungan timbal balik yang sangat erat antara diksita dengan nabenya. Bila seseorang sisyya diksita berperilaku yang tidak terpuji setelah disyahkan menjadi Sulinggih, yang terkena nodanya tidak hanya yang bersangkutan melainkan juga mencemari kesucian Nabenya.
Dalam hubungan ini lontar Siva Sasana memberi petunjuk dan kriteria dalam pemilihan calon Sulinggih sebagai berikut:
Nihan lwir nin wwan pilihen gawayen sisya, wwan sudha jadma pawitra kawwananya, wwan satya wacana, wwan sujana tuhu-tuhu mahardika, wwan prajna weruh manaji, wwan sattwika, wwan susila pageh in tuhu, wwan sthiti rin abhipraya, wwan dhairya dharakaa ngelaken sukha duhkha, wwan satya bhakti matuan, niniweh bhakti makawitan, wwan mahya kagawenya in dharma kartta, wwan mapageh magawe tapa. Nahan lwir nin wwan gaweyen siswa, yogya diniksan.
                              (Lontar Siva Sasans. Ip.4)
Artinya :
Inilah macamnya orang yang patut dipilih sebagai sisya (siswa kerohanian): orang yang benar-benar keturunan orang suci dan mulia, orang yang setia pada perkataan, orang baik-baik senantiasa tenang, orang yang bijaksana, mahir bersastra, orang yang berbudhi sattwam, sattwika, orang yang berbudi luhur, teguh pada kebenaran, orang yang tetap pendirian, orang yang teguh iman, orang yang tahan menghadapi suka duka, orang yang setia pada pembimbingnya, terutama bakti kepada leluhurnya, orang yang berkehendak teguh melaksanakan ajaran-ajaran dharma dan orang yang berdisiplin melakukan tapa (pengendalian diri). Itulah macam orang yang patut dijadikan siswa kerohanian
Faktor kepribadian dalam sistem pendidikan (aguron-guron) mengatasi syarat yang lainnya. Oleh karena kepribadiannya sukar dirubah dan besar pengaruhnya pada tingkah lakunya kelak kemudian hari setelah resmi menjadi seorang Sulinggih.
2.    Syarat-syarat Formal Calon Pandita/Pinandita
Secara formal terutama yang mencakup prodeser administrasi Parisada Hindu Dharma menetapkan syarat-syarat bagi calon Pinandita/Pemangku hampir sama dengan calon Pandita/Sulinggih. Kecuali yang menyangkut hubungan Nabe. Oleh karena seseorang Pinandita/Pemangku dalam proses penyuciannya tidak memerlukan seorang Nabe seperti pada padiksaan seorang Sulinggih.
Dalam aspek mental spiritual, seorang calon Pinandita/Pemangku juga sangat diperhatikan. Tindakan dan perilaku Pinandita/Pemangku yang tidak terpuji, tidak saja mencemari dirinya sendiri tetapi juga dipandang akan menodai lingkungannya. Bilamana seorang Pinandita/Pemangku yang telah diresmikan melalui upacara pawintenan, berbuat yang menyalahi aturan, ia wajib mengulang lagi melaksanakan upacara penyucian diri.
Yan hana pamanku widhi tampak tali, cuntaka dadi
Pamanku, wnan malih maprayascitta kadi nguni upakarania,
Wnan dadi pamanku widhimalih. Yan nora mankana
Phalania tan mahyun bhatara mahyan rin kahyanan
(Lontar Kusuma Deva)
            Artinya:
Bilamana ada pemangku yang pernah diikat (karena suatu kesalahan), dipandang cuntaka, wajib melaksanakan upacara prayascitta seperti upacaranya semula. Dengan demikian ia berhak untuk kembali menjadi pemangku. Bila tidak demikian akibatnya tidak berkenan Bhatara turun di kahyangan.
           
Dalam prakteknya di masyarakat pemilihan calon Pinandita/Pemangku ditentukan oleh umat pangemong pura yang bersangkutan. Prosedur penetapannya maupun pemilihan calon itu sendiri dilakukan dengan berbagai cara, sesuai dengan tradisi setempat.
Ada beberapa cara yang telah umum dilakukan dalam pemilihan Pinandita/Pemangku antara lain:
a.       Melalui nyanjan
Cara ini ditempuh dengan bantuan seorang mediator yang mampu menghubungkan diri dengan dunia gaib, kemudian menerima petunjuk-petunjuknya secra langsung, siapa yang akan dipilih Pemangku dipura tersebut sering dilakukan dalam keadaan instran.
Pada akhirnya apakah petunjuk yang disampaikan oleh sang mediator itu dapat diterima atau tidak oleh umat yang mendukung  pura tersebut, sepenuhnya kembali lagi kepada umat itu sendiri.

b.      Melalui keturunan
Cara ini tidak melaui prosedur yang berbelit-belit, oleh karena cara ini telah diterima secara tradisi, bilaman seorang Pemangku yang sudah tua tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya, secara otomatis akan digantikan oleh keturunannya (anaknya). Melalui cara ini proses kaderisasi umumnya berlaku secara alami, dan dipersiapkan dengan baik. Oleh karena telah disadari pada saatnya nanti sang anak akan menerima tongkat estapet dari orang tuanya untuk melanjutkan tugasnya sebagai Pemangku di Pura yang bersangkutan.

c.       Melalui pemilihan
Cara ini sering dilakukan bilamana cara-cara lain ternyata tidak berhasil dilaksanakan. Ada juga yang memang melaksanakannya secara tradisi sehingga akan berlanjut untuk waktu yang berikutnya. Dalam proses pemilihan, penentuan syarat-syaratnya disamping yang telah ditentukan secara umum, sering masih ditambahi dengan syarat-syarat yang ditetapkan secara khusus oleh umat yang bersangkutan.
Betapapun juga tugas seorang rohaniawan, apakah yang tergolong Ekajati (Pemangku/Pinandita) lebih-lebih yang tergolong Dvijati (Sulinggih/Pandita) adalah cukup berat. Oleh karena itu pula timbal baliknya yaitu berupa perhatian dan penghargaan dari masyarakat umat itu sendiri juga patut diberikan sewajarnya agar rohaniawan yang dipercayakan dalam tugas-tugas keagamaan itu dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan peranannya dan dapat berperan sebagai tokoh panutan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Pengertian Pandita Dan Pinandita
1.      Rohaniawan yang tergolong Dvijati, dengan sebutan Pandita atau Sulinggih
Dalam istilah nasional juga disebut Pendeta. Kata dvijati berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata dvi yang artinya dua dan jati berasal dari akar kata ja artinya lahir. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang Guru Suci yang disebut Nabe. Maka dari itulah dalam upacara madiksa, yaitu upacara pengesahan untuk menjadi seorang Sulinggih atau pandita dilakukan nuwum atau juga disebut matapak.
2.      Rohaniawan yang tergolong Eka Jati, dengan sebutan Pinandita, Pemangku, Wasi dan sejenisnya.
Pemangku umumnya terkait dengan adanya suatu Pura tempatnya bertugas, sedangkan Wasi, atau Pinandita, Mangku Dalang, Mangku Balian/Dukun, Pengemban maupun Dang Acarya, tidak selalu memiliki ikatan dengan suatu tempat suci tertentu. Oleh karena itu mereka umumnya seperti melaksanakan tugas selaku rohaniawan yang bersifat umum, seperti melaksanakan upacara perkawinan, upacara manusa yadnya, upacara kematian dan lain-lainnya.
3.2 Status dan Wewenang Pandita dan Pinandita
Status Pandita atau Pendeta atau Sulinggih adalah tergolong Dvijati, yang artinya lahir dua kali yaitu kelahiran pertama adalah kelahiran secara jasmani dari kandungan ibu. Kelahiran ini hanya bersifat kelahiran secara fisik jasmani. Sedangkan kelahiran yang kedua kalinya adalah kelahiran dari seorang guru suci yang disebut Nabe. Dalam arti kelahiran karena telah memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerohanian yang dilalui melalui pelaksanaan aguron-guron (berguru/belajar) serta telah diresmikan melalui upacara diksa atau Pudgala.
Upacara yang dilakukan untuk seorang Pinandita hanya sampai pada tingakt pawintenan. Upacara pawintenan bahkan juga boleh dilaksanakan oleh umat secara umum, yang bermaksud untuk menyucikan diri. Misalnya sebelum akan mempelajari kitab-kitab suci, sebelum akan bertugas mengenai upacara yang agak besar dan sebagainya.


3.3 Syarat-syarat Calon Pandita dan Pinandita
1)      Syarat-syarat calon Pandita/Sulinggih
Secara umum syarat-syarat calon Pandita telah ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma dalam keputusan Maha Sabha II Tahun 1968 bahwa umat Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat dapat disucikan (didiksa).
            Adapun syarat-syaratnya adalah:
j)        Laki-laki yang sudah kawin/menikah.
k)      Laki-laki yang Nyukla Brahmacari
l)        Wanita yang sudah kawin/menikah
m)    Wanita yang tidak kawin (kanya)
n)      Pasangan suami istri
o)      Umue sudah dewasa
p)      Paham dalam bahasa kawi, Sanskrta, dan Indonesia. Memiliki pengetahuan umum, mendalami intisari ajaran-ajaran agama (filsafat, ethika dan ritual).
q)      Sehat lahir batin, ingatan tidak terganggu, tidak cendangga (cacat tubuh dan berbudi luhur).
r)       Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan.

2)      Syarat-syarat formal calon Pinandita/Pemangku
Secara formal terutama yang mencakup prodeser administrasi Parisada Hindu Dharma menetapkan syarat-syarat bagi calon Pinandita/Pemangku hampir sama dengan calon Pandita/Sulinggih. Kecuali yang menyangkut hubungan Nabe. Oleh karena seseorang Pinandita/Pemangku dalam proses penyuciannya tidak memerlukan seorang Nabe seperti pada padiksaan seorang Sulinggih.



DAFTAR PUSTAKA

Sumantra I Nengah. 2009. Dasar-dasar Pendidikan Agama Hindu
Previous Post
Next Post

1 comment:

  1. becik blognya, update terus , agar banyak informasi tentang Hindu di dunia maya ini

    ReplyDelete