BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Orang Suci adalah
orang yang disucikan oleh umatnya dan mempunyai kesucian hati dan pikiran untuk
dapat menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi. Jadi, yang
dimaksud Orang Suci adalah manusia
yang memiliki kekuatan mata batin dan dapat memancarkan kewibawaan rohani,
serta mempunyai kepekaan untuk menerima getaran-getaran gaib, dalam
penampilannya menunjukkan ketenangan dan penuh welas asih, yang disertai
kemurnian atau kebersihan lahir dan batin dan mengamalkan ajaran agama Hindu,
tidak terpengaruh oleg gelombang hidup suka dan duka. Para orang suci itu
dikenal karena jasa-jasanya, pengabdiannya, kepemimpinannya, dan
keteladanannya. Adapula karena kemampuannya mengubah ayat-ayat suci Veda.
Dalam lontar Silakrama menyatakan tentang kemuliaan orang suci ialah :
“bahyamabhyantaram saucam dwigha
proktam dwijottamah mrijalabyam smrtam bahyam manah suddhir athantaram”.
Artinya :
Orang-orang yang termulia
di antara para dwijati, sauca (kebersihan, kemurnian dan kesucian) itu disebutkan
dua macamnya: lahir (jasmani) dan batin (rohani). Yang lahir karena tanah liaat
dan air yang berikutnya adalah kesucian pikiran.
Sloka yang harus dilaksanakan agar bisa menjadi orang suci ialah :
“Adbhir gatrani sudhyanti manah satyena sudhyati
widyatopobhyam bhutatma budhir jnanema sudhyati”.
Artinya:
Tubuh dibersihkan dengan air,
pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa,
akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Disamping itu juga sebagai orang
suci hendaknya memiliki kepribadian sebagai berikut :
1.
Bersih,
2.
Budiman,
3.
Tenang,
4.
Tangguh,
5.
Senang memberi maaf
6.
Lapang hati berdasarkan Maitri,
Karuna, Mudita, dan Upeksa, serta
7.
Kasih sayang terhadap sesamanya.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
pengertian pandita dan pinandita
?
2. Bagaimanakah
status dan wewenang pandita dan pinandita
?
3. Bagaimanakah
syarat-syarat calon pandita dan pinandita
?
1.3
Tujuan
Adapun yang
menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Tujuan
Umum
Untuk memperluas
wawasan tentang pengertian pandita
dan pinandita, mengetahui status dan wewenang pandita dan pinandita, serta
syarat-syarat calon pandita dan pinandita.
1.4
Manfaat
Adapun manfaat
dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagi mahasiswa
manfaatnya adalah dengan membaca makalah ini, mahasiswa dapat memperluas
wawasan tentang pengertian pandita
dan pinandita, mengetahui status dan wewenang pandita dan pinandita, serta
syarat-syarat calon pandita dan pinandita.
2.
Bagi penulis manfaatnya
adalah dapat lebih memahami dari pengertian
pandita dan pinandita, mengetahui status dan wewenang pandita dan pinandita,
serta syarat-syarat calon pandita dan pinandita.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pandita dan Pinandita
Rohaniawan dalam
ajaran agama Hindu yang bertugas secara langsung mengantarkan suatu upacara
dikenal dengan berbagai nama. Dilihat dari tingkat penyuciannya umumnya hanya
dibedakan atas dua golongan yaitu:
1. Rohaniawan yang tergolong Dwijati, dengan sebutan Pandita atau Sulinggih.
Dalam
istilah nasional juga disebut Pendeta. Kata dvijati
berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata dvi yang artinya dua dan jati
berasal dari akar kata ja artinya
lahir. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah
dari kaki Dang Guru Suci yang disebut
Nabe.
Maka dari itulah dalam upacara madiksa,
yaitu upacara pengesahan untuk menjadi seorang Sulinggih atau pandita dilakukan
nuwum atau juga disebut matapak.
Istilah
Pandita juga berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya: terpelajar, pintar,
bijaksana (orang arif bijaksana).
Istilah
Pedanda di Bali mengandung arti yang sama dengan Dvijati. Mengenai istilah Viku
erat hubungannya dengan Bhiksu (Bahasa Sansekerta) yang berasal dari kata Biks
artinya minta-minta. Bhiksu artinya Pendeta minta-minta.
Dalam
Catur Asrama tingkat yang terakhir disebut Bhiksuka, yang artinya masa
kehidupan yang tidak lagi terikat dengan harta melainkan memusatkan perhatian
menuju kesucian diri. Untuk menyambung hidupnya hanya mengandalkan dengan
minta-minta.
Demikian
pula halnya seorang Wiku atau Pendeta tidak lagi terikat akan harta benda, dan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sepatutnya didukung dari bantuan/dunia para
sisyanya (murid-muridnya). Dengan demikian seorang Wiku/Pendeta/Sulinggih akan
dapat lebih memusatkan diri pada kesucian dan mendoakan kesejahteraan dan
keselamatan dunia.
Istilah-istilah
lain yang juga sering digunakan di daerah Bali khususnya untuk menyebut
rohaniawan yang tergolong Dwi Jati antara lain Rsi, Empu, Pedanda, Bujangga,
Senggu, Dukuh, Danghyang, dan Bagawan. Istilah-istilah tersebut umumnya
dipergunakan oleh keluarga-keluarga tertentu yang diterima secara tradisi.
2. Rohaniawan yang tergolong Eka Jati, dengan sebutan Pinandita, Pemangku, Wasi.
Pinandita
adalah rohaniawan yang bertugas selaku pembantu mewakili Pendeta, hal ini
ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma dalam Maha Sabha II tahun 1968 yang
menetapkan sebagai berikut:
Selaku
pembantu mewakili Pendeta, ditetapkan adanya Pinandita terdiri dari:
a.
Pemangku,
b.
Wasi,
c.
Mangku Balian/Dukun.
d.
Mangku Dalang,
e.
Pengemban,
f.
Dang Acarya
Pemangku
umumnya terkait dengan adanya suatu Pura tempatnya bertugas, sedangkan Wasi,
atau Pinandita, Mangku Dalang, Mangku Balian/Dukun, Pengemban maupun Dang
Acarya, tidak selalu memiliki ikatan dengan suatu tempat suci tertentu. Oleh
karena itu mereka umumnya seperti melaksanakan tugas selaku rohaniawan yang
bersifat umum, seperti melaksanakan upacara perkawinan, upacara manusa yadnya,
upacara kematian dan lain-lainnya.
2.2 Status dan Wewenang Pandita dan Pinandita
1. Status Pandita dan Pinandita
a.
Status Pandita/Pinandita
Status
Pandita atau Pendeta atau Sulinggih adalah tergolong Dvijati, yang artinya
lahir dua kali yaitu kelahiran pertama adalah kelahiran secara jasmani dari
kandungan ibu. Kelahiran ini hanya bersifat kelahiran secara fisik jasmani.
Sedangkan kelahiran yang kedua kalinya adalah kelahiran dari seorang guru suci
yang disebut Nabe. Dalam arti kelahiran karena telah memperoleh ilmu
pengetahuan suci dan kerohanian yang dilalui melalui pelaksanaan aguron-guron
(berguru/belajar) serta telah diresmikan melalui upacara diksa atau Pudgala.
Kitab
manu Smrti II. 146-148 menjelaskan sebagai berikut:
kamanmata pita caiman
yad utpadayato mithah,
sambhutim tasya tam
vidyad yad dhonavabhijayate.
acaryastasya yam yatim
vvidhivad veda paragah,
utpadayati savitrya
sa satya sa jara mara
utpadaka brahmadatror
gariyan brahmadah pita,
brahmajanma hi viprasya
pretya ceha ca sasvatam
Artinya :
Ibu dan bapa (guru rupaka) melahirkan dia karena nafsu, maka
ia lahir dari perut
Ketahuilah ini adalah kelahiran jasmani.
Namun kelahiran yang berdasarkan penstabilan (dvijati)
dengan (mantra) Savitri dari acarya (guru pengajian) yang telah mahir dalam
veda, itulah kelahiran yang sebenarnya, yang utuh dan abadi (ajaramara).
Diantara yang melahirkan dan yang memberi pengetahuan
Mengenai Brahma (Tuhan) yang memberi pengetahuan mengenai
Brahma adalah bapak yang lebih utama, karena lahirnya Brahmapada seorang
bijaksana (virpra) sungguh abadi diakhirat maupun di sini (di dunia ini).
Pelaksanaan
uapacara diksa sebagai perusahaan pada keedua (dwijati) ini bersifat merubah
status yang bersangkutan setelah diikuti dengan disiplin yang cukup ketat.
Ikatan disiplin yang pertama-tama yang patut dilaksanakan oleh seorang diksita
dikenal dengan istilah catur bandana
dharma artinya empat ikatan disiplin kehidupan kerohanian meliputi:
a)
Amari aran
Artinya yang bersangkutan sejak diresmikan menjadi seorang Pandita melalui
upacara diksa tersebut wajib mengganti namanya yang dipakai saat masih walaka
dengan nama yang baru sesuai dengan pemberian Nabe.
b)
Amari sesana
Artinya meninggalkan tugas dan kewajibannya semula saat sebelum madiksa dan
mengganti dengan sesana kawikon. Yaitu tugas dan kewajiban serta disiplin
kehidupan Pedanda. Misalnya tan wenang adol atuku (tidak boleh berjual beli),
dan sebagainya.
c)
Amari wesa
Artinya meninggalkan dan mengganti atribut/tanda-tanda kawelakaannya dengan
wesa atau ciri-ciri/identitas Pedanda. Misalnya dalam tata bhusana, tidak lagi
boleh bercukur, melainkan bagi pendeta Siva yang laki-laki biasanya mengenakan
dandanan rambut yang disebut aketujata memakai rupa atau disebut pula dengan
malingga mudra di Bali dikenal dengan maprucut. Bagi yang wanita memakai
dandanan rambut yang disebut anodong.
Pakaian saat memuja memakai:
1.
Sampet, yaitu secarik kain yang dilipat pada dadanya.
2.
Rudraksa, yaitu hiasan dari rangkaian buah ganitri yang dikenakan pada
kedua bahunya.
3.
Kundala, yaitu anting-anting yang umumnya juga terbuat dari rangkaian buah
ganitri.
4.
Kantha bharata, yaitu hiasan pada leher.
5.
Karna bharata, hiasan pada telinga.
6.
Guduha, yaitu gelang rangkaian biji/buah ganitri yang dikenakan pada kedua
pergelangan tangannya.
7.
Bhava, yaitu hiasan pada kepala sering disebut dengan ketu
Pada
saat melaksanakan pemujaan juga dilengkapi dengan peralatan pemujaan yang
disebut Sivopakarana, serta gerakan tang yang bersifat magis yang disebut mudra
atau pantangan.
Pakaian
sehari-hari setelah menjadi Pendeta antara lain:
1.
Bagi Pendeta laki-laki, mengenakan: kain putih, kampuh kuning bertepi
putih, ikat pinggang putih, bila keluar rumah tongkat. Boleh juga memakai jubah
yang disebut kawaka rajeg
2.
Pendeta istri, memakai kain yang dasarnya kuning, boleh dengan motif
kembang, baju warna putih, selendang kuning, ikat pinggang putih.
3.
Umulahaken kaguru susrusa
Yaitu melaksanakan dengan patuh dan berdisiplin ajaran guru (Nabe) serta
selalu hormat dan patuh kepada guru (Nabe) termasuk keluarganya. Kesemua
ciri-ciri/identitas tersebut hanya boleh digunakan oleh seorang yang telah
resmi menjadi Pandita/Pendeta setelah melalui proses yang telah ditentukan.
Dengan melaksanakan disiplin yang ketat serta mengikuti segala aturan yang
telah ditetapkan bagi seorang Sulinggih/Pandita yang dikenal dengan sasana
Kawikon mengantarkan seseorang Pandita pada status sebagai orang Wuku/Dang
Acarya/Sulinggih Dvijati.
Kedudukan Wiku/Pendeta/Pandita/Sulinggih selaku Dvijati adalah sesuatu
kedudukan khusus yang hanya menuruti sasana serta sesuai dengan ketentuan PHDI.
Dengan status itu pula beliau memiliki tugas kewajiban dan wewenang yang
berada dengan seorang rohaniawan yang
masih tergolong eka jati seperti Pinandita atau Pemangku.
b.
Status Pinandita/Pemangku
Status
Pinandita, Pemangku, Wesi, Mangku Dalang dan sejenisnya tergolong dalam tingkat
Eka Jati. Walaupun bagi seorang Pinandita, untuk mampu melaksanakan tugasnya
juga perlu belajar/berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajari tidaklah
setinggi Pandita/Sulinggih. Veda yang dipelajari sangat terbatas, umumnya hanya
yang berhubungan dengan pangastawa. Upacara pengesahannya pun jauh berbeda
dengan pengesahan menjadi Pandita/Sulinggih. Upacara yang dilakukan untuk
seorang Pinandita hanya sampai pada tingakt pawintenan. Upacara pawintenan
bahkan juga boleh dilaksanakan oleh umat secara umum, yang bermaksud untuk
menyucikan diri. Misalnya sebelum akan mempelajari kitab-kitab suci, sebelum
akan bertugas mengenai upacara yang agak besar dan sebagainya.
Upacara
pawintenan ini boleh dilakukan berkali-kali. Berbeda dengan upacara Padiksaan
yang hanya boleh dilakukan hanya sekali saja (tan wenang anyusuni diksa).
Dengan
tingkatan upacara seperti ini tidak membawa perubahan status, sebagaimana yang
dilakukan bagi seorang Pandita/Sulinggih.
Seorang
Pinandita/Pemangku masih boleh bercukur, berpakaian layaknya masyarakat biasa,
masih memiliki tugas dan kewajiban dalam berhubungan kemasyarakatan sebagai
seorang wilaka. Namanya juga tidak diganti dengan nama yang baru, sebagaimana
bhiseka seorang Pendeta/Sulinggih.
Seorang
Pinandita/Pemangku dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh mempergunakan alat
pemujaan sebagaimana alat pemujaan Pendeta/Sulinggih demikian pula tidak
dibenarkan mempergunakan mudra atau pantangan (gerak tangan yang bersifat magis
yang dilakukan oleh Pendeta/Sulinggih pada waktu melaksanakan pemujaan).
Pelanggaran
dalam hal ini disebut nyumuka angwikoni
awaknya dawak yang artinya menjadikan dirinya sendiri selaku Pendeta yang
sesungguhnya belum berwenang untuk itu.
Bagi
seorang Pinandita/Pemangku memiliki sasana khusus yang disebut sasana Pemangku
antara lain:
a)
Gagelaran/Agem-agem/tata cara Pemangku melaksanakan tugasnya disesuaikan
dengan ketentuan dalam lontar Kusuma Deva, Sangkul Putih serta Gagelaran
Pemangku.
b)
Bagi Pemangku Dalang, sasananya/Gagelaran/agem-agemnya sesuai dengan
Dharmaning Pandalangan, Panyudamalamdan Nyapu Leger.
Ciri-ciri umum yang
dipergunakan bagi seorang Pinandita/Pemangku adalah:
a)
Rambut panjang atau boleh juga bercukur.
b)
Pakaian: memakai destar putih, baju putih, kampuh putih (dalam melaksanakan
tugasnya/melakukan upacara). Sedangkan di luar itu masih di benarkan berpakaian
sebagaimana umat lainnya.
c)
Dalam melakukan pemujaan memakai: genta, pasepan, bunga, Gandaksata, tempat
tirta (kumba).
2. Wewenang Pandita dan Pinandita
a.
Wewenang Pandita
Sesuai
dengan keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu,
seorang Sulinggih, Pandita/Pendeta berwenang dalam menyelesaikan segala
upacara/upakara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Kewenangan ini
tidak terbatas pada upacara yang bersifat rutin maupun persembahan, melainkan
juga termasuk menyelesaikan upacara yang bermakna mengesahkan, seperti upacara
perkawinan, upacara pengangkatan anak, upacara penyembuhan dan sejenisnya.
Kewenangan
seorang Sulinggih tidak secara otomatis diperoleh setelah menyelesaikan upacara
padiksaan, melainkan masih diperlukan pengesahan yang bersifat legalitas.
Pengesahan tersebut terkadang harus dilalui dalam beberapa tahapan lagi. Untuk berwenang
menggunakan weda dan menyelesaiakan upacara-upacara tingkat sederhana, seorang
Sulinggih/Pandita yang telah madiksa, harus melaksanakan upacara ngalinggihang
Veda yang disaksikan oleh Nabenya serta Viku Saksi lainnya. Pada upacara ini
seorang Sulinggih dites kembali apakah yang bersangkutan sudah menguasai Veda
dengan baik atau belum.
Setelah
upara ngalinggihang Veda ini dapat dilaksanakan dengan baik, barulah seorang
Pandita/Sulinggih memiliki kewenangan menyelesaikan upacara tingkat yang
tertentu, sesuai dengan ijin dari Nabenya. Untuk dapat menyelesaikan upacara
tingkat yang benar (upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong Tiga). Seorang
Pandita/Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam penguasaan veda yang
diistilahkan apas sang linga, yaitu
tingkat tertentu dalam penguasaan Veda.
Bagi
Sulinggih yang telah berhasil melewati tahapan penguasaan veda sebagaimana
tersebut di atas, maka tugas pokok seorang Pandita/Pendeta/Sulinggih adalah Ngeloka parasraya yaitu melaksanakan
tugas selaku sandaran umat untuk memohon bantuan/membantu umat dalam hal
kehidupan keagamaan secara umum. Dalam prakteknya lebih banyak membantu dalam
pelaksanaan upacara agama. Di samping itu dalam hal kehidupan beragama
sehari-hari, seperti bagaimana tata cara mendirikan pura, mendirikan rumah,
mencari hari-hari baik untuk melaksanakan upacara, dan sejenisnya. Pendetalah
sebagai tempat bersandarnya umat untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk yang
diperlukan. Oleh karena itu Pendeta/Pandita juga disebut sebagai Guru Loka atau
Dang Acarya yang artinya guru (di dunia ini) terutama dalam kehidupan keagamaan.
Hubungan antara Pendeta/Pandita dengan umat dilukiskan sebagai hubungan Siva
dengan sisyanya, dimana Pendeta-Pandita dipandang sebagai Siva, terutama pada
saat beliau muput atau menyelesaikan suatu upacara, ngarga tirtha atau membuat
tirta, serta melaksanakan tugas-tugas kependetaannya. Sedangkan umat dipandang
sebagai sisyanya yang artinya sebagai murid dari Pandita/Pendeta/Sulinggih yang
bersangkutan. Bilamana umat mengalami kesulitan untuk mendapatkan petunjuk dari
kitab suci maka petunjuk Pandita itukah yang dijadikan sebagai penggantinya.
Hal ini sejalan dengan kitab Manawa Dharmasastra yang menguraikan sebagai
berikut:
Idanin dharma pramnanyaha,
Vedo’kilo darmamulam
Smrtisile ca tadvidam
Acarascaiva sadhunam
Atmanastustir eva ca
(Manawa
Dharmasastra II. 6)
Artinya:
Seluruh pustaka suci weda adalah pertama daripada dharma,
kemudian adat istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman
yang mengalami ajaran pustaka suci weda (Pendeta/Sulinggih), juga tata cara peri
kehidupan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri pribadi.
Sedangkan
bagi Pandita yang hanya melaksanakan penyucian diri (madiksa) semata-mata untuk
kesucian diri-sendiri. Beliau tidak melaksanakan tugas Loka Para Sraya terutama
yang berhubungan dengan tugas membantu umat dalam menyelesaikan upacara agama.
Namun tugas dan kewajiban sebagai guru loka, dalam arti membimbing dan memberi
petunjuk tentang ajaran agama tetap dilaksanakan sesuai dengan permintaan umat
itu sendiri.
Dengan
adanya ketentuan seorang Sulinggih/Pandita amari sasana maka seorang
Pandita/Sulinggih, dibebaskan dari tugas-tugas dan kewajiban selaku warga
masyarakat umum.
Tugas
dan kewajiban Pandita/Pendeta/Sulinggih setiap harinya, adalah melaksanakan
pemujaan yang dikenal dengan Nyurya Sewana. Yaitu melaksanakan pemujaan untuk
menyucikan diri serta mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk di
dunia ini (sarva prani hitakkarah). Pemujaan ini biasanya dilaksanakan di
Merajan/tempat suci yang ada di rumahnya masing-masing. Tugas dan kewajiban
harus dilaksanakan setiap hari kecuali karena sakit.
Sesuai
dengan Keputusan Maha Sabha II Parisada Hindu Dharma Pusat tahun 1968, ditetapkan
fungsi/tugas kewajiban Pendeta sebagai berikut:
Fungsi
/tugas kewajiban pendeta (Ngeloka) Para Sraya:
a)
Memimpin umat dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan lahir batin,
b)
Melakukan pemujaan penyelesaian yadnya.
Pendeta
sejak mendapat ijin ngeloka para sraya bagi kemantapan ngalinggihang veda,
harus melakukan tirta yatra pemujaan pada tempat-tempat suci, terutama pada
pura yang sangat keramat.
Dalam
hubungannya dengan pembinaan umat menuju kepada kemantapan pelaksanaan ajaran
agama seorang Sulinggih juga sangat di harapkan untuk melaksanakan tugas-tugas:
Dalam
memimpin upacara yadnya menyesuaikan dengan ucap sastra (pustaka lontar) yang
mengaturnya.
Sulinggih
agar berkenan membimbing untuk meningkatkan kesucian dan kemampuan para
Pinandita/Pemangku.
Aktif
mengikuti paruman dalam rangka menyesuaikan, memantapkan dan mengingatkan
ajaran agama dihubungkan dengan perkembangan kemajuan zaman.
Sulinggih/Pandita
disamping memimpin menyelesaikan upacara yadnya, juga patut memberikan Upadesa
untuk memantapkan pengertian dan pengalaman ajaran agama hindu.
b.
Wewenang Pinandita
Secara
umum semua jenis Pinandita/Pemangku dengan berbagai sebutannya memiliki batas
wewenang yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Pandita/Sulinggih dalam hal
mengantarkan yadnya.
Maha
Sabha II Parisada Hindu Dharma tahun 1968 metapkan fungsi/tugas/kewajiban
Pinandita sebagai berikut:
Fungsi
ngeloka para sraya sesuaio dengan ketentuan Pendeta tersebut di atas kecuali:
a)
Melakukan pawintenan, (menyucikan orang lain yang akan menjadi Pinandita/Pemangku)
b)
Untuk mendapat tirta pangentas (bagi Pitra Yadnya), harus dengan jalan
memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
c)
Menyelesaikan dewa yadnya dan manusa yadnya pada tingkat madudus alit.
Dalam
keputusan Seminar Kesatuan tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, batas
kewenangan seorang Pinandita/Pemangku tersebut dijabarkan lebih alnjut sebagai
berikut:
Seorang Pinandita/Pemangku berwenang:
a)
Nganteb upakara upacara pada khahyangan yang diamongnya.
b)
Dapat ngeloka para sraya sampai dengan madudus alit, sesuai dengan tingkat
pawintenannya dan juga atas panugrahannya Sulinggih.
c)
Waktu melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih, dandanan rambut
wenang agorta, berambut panjang, anyondong, menutup kepala dengan destar.
Dalam
hubungan dengan Panca Yajna, batas kewenangan tersebut lebih lanjut dirinci
sebagai berikut:
a)
Menyelesaikan upacara puja wali/piodalan sampai tingkat piodalan pada pura
yang bersangkutan.
b)
Apabila Pinandita menyelesaikan upacara di luar Pura yang diamongnya atau
upacara/upakara yajna itu diselenggarakan di luar Pura atau jenis
upacara/upakara yajna tersebut bersifat rutin seperti puja wali/piodalan manusa
yajna, bhuta yajna yang seharusnya dipuput dengan tirta Sulinggih, maka
Pinandita boleh menyelesaikan dengan nganteb serta menggunakan tirta Sulinggih
selengkapnya.
c)
Pinandita berwenang menyelesaikan upacara rutin di dalam pura dengan
nganteb/masehe serta memohon tirta kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan Bhatara
Bhatari yang melinggih atau yang distanakan di Pura tersebut termasuk upacara yajna
membayar kaul dan lain-lain.
d)
Dalam menyelesaikan upacara Bhuta yajna/caru Pinandita diberi wewenang
muput upacara Bhuta yajna tersebut maksimal sampai dengan tingkat menggunakan
tirta Sulinggih.
e)
Dalam hubungan muput upacara Manusa Yajna Pinandita diberi wewenang dari
upacara bayi lahir sampai dengan otonan bias dengan menggunakan tirta
Sulinggih.
f)
Dalam hubungan dengan muput upacara Pitra Yajna Pinandita diberi wewenang
sampai pada mendem sawa sesuai dengan catur drsta.
Dalam
hubungan dengan pembinaan kehidupan beragama, Pinandita juga bertugas untuk
menuntun umat dalam menciptakan ketertiban dan kehidmatan pelaksanaan upacara
di Pura tempatnya bertugas, serta mengatur persembahyangan, maupun mengatur
sajen yang akan dipersembahkan.
Di
luar dari kegiatan di Pura, Pinandita/Pemangku bertugas untuk menjaga dan
memelihara kelestarian dan kesucian pura.
2.3 Syarat-syarat Calon Pandita dan Pinandita
1.
Syarat-syarat Umum Calon Pandita/Pinandita
Secara umum syarat-syarat calon Pandita telah ditetapkan
oleh Parisada Hindu Dharma dalam keputusan Maha Sabha II Tahun 1968 bahwa umat
Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat dapat disucikan (didiksa).
Adapun syarat-syaratnya adalah:
a)
Laki-laki yang sudah kawin/menikah.
b)
Laki-laki yang Nyukla Brahmacari
c)
Wanita yang sudah kawin/menikah
d)
Wanita yang tidak kawin (kanya)
e)
Pasangan suami istri
f)
Umue sudah dewasa
g)
Paham dalam bahasa kawi, Sanskrta, dan Indonesia. Memiliki pengetahuan
umum, mendalami intisari ajaran-ajaran agama (filsafat, ethika dan ritual).
h)
Sehat lahir batin, ingatan tidak terganggu, tidak cendangga (cacat tubuh
dan berbudi luhur).
i)
Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan.
Setelah memenuhi
syarat tersebut, seorang calon Pandita masih harus memenuhi prosedur
administrasi yang telah ditentukan yaitu:
a)
Calon diksa mengajukan permohonan untuk kepada Parisada Hindu Dharma
setempat yang mewilayahinya selambat-lambatnya tiga bulan sebelum hari
padiksaan.
b)
Permohonan disertai/dilampiri dengan surat:
Ø
Keterangan berbadan sehat
Ø
Surat keterangan kecakapan
Ø
Keterangan tidak tersangkut prakara
Ø
Keterangan berkelakuan baik
Ø
Riwayat hidup
c)
Permohonan ditebus kepada pemerintah setempat untuk dimaklumi.
d)
Parisada setempat seterimanya surat permohonan itu secepatnya melakukan
penyelidikan dan testing bersama calon nabe, guna mendapat kepastian tentang
terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat di depan.
e)
Penyelidikan dan testing bila perlu dapat diulang 3 atau 6 bulan kemudian
apabila ternyata permohonan belum memenuhi syarat. Hasil
penyelidikan/pengetesan itu disampaikan kepada Parisada atasannya (pusat)
dengan tembusan kepada Paerisada setempat.
f)
Pemohon yang permohonannya ditolak dapat mengajukan permohonan lagi setelah
berselang 3 bulan kemudiaanya sampai sebanyak 3 kali.
g)
Seorang pendeta yang baru didiksa, boleh mulai melakukan loka pala sraya
setelah mendapat ijin untuk itu dari nabenya yang disaksikan oleh Parisada yang
memberikan ijin diksa.
h)
Parisada ini wajib menyiarkan tentang hak loak pala sraya itu.
Demikianlah
syarat-syarat seorang calon Pandita/Sulinggih yang ditetapkan secara formal
melalui Keputusan Maha Sabha II Tahun 1968.
Disamping
syarat-syarat tersebut dalam hubungan antara nabe dengan sisya (calon diksa)
itu sendiri justru yang lebih mendapat perhatian adalah aspek mental dan
spritualnya atau aspek kepribadiannya. Oleh karena itu dalam sistem
aguron-guron dikenal adanya hubungan timbal balik yang sangat erat antara
diksita dengan nabenya. Bila seseorang sisyya diksita berperilaku yang tidak
terpuji setelah disyahkan menjadi Sulinggih, yang terkena nodanya tidak hanya
yang bersangkutan melainkan juga mencemari kesucian Nabenya.
Dalam
hubungan ini lontar Siva Sasana memberi petunjuk dan kriteria dalam pemilihan
calon Sulinggih sebagai berikut:
Nihan lwir nin wwan pilihen gawayen sisya, wwan sudha jadma pawitra
kawwananya, wwan satya wacana, wwan sujana tuhu-tuhu mahardika, wwan prajna
weruh manaji, wwan sattwika, wwan susila pageh in tuhu, wwan sthiti rin
abhipraya, wwan dhairya dharakaa ngelaken sukha duhkha, wwan satya bhakti
matuan, niniweh bhakti makawitan, wwan mahya kagawenya in dharma kartta, wwan
mapageh magawe tapa. Nahan lwir nin wwan gaweyen siswa, yogya diniksan.
(Lontar Siva
Sasans. Ip.4)
Artinya :
Inilah macamnya orang yang
patut dipilih sebagai sisya (siswa kerohanian): orang yang benar-benar
keturunan orang suci dan mulia, orang yang setia pada perkataan, orang
baik-baik senantiasa tenang, orang yang bijaksana, mahir bersastra, orang yang
berbudhi sattwam, sattwika, orang yang berbudi luhur, teguh pada kebenaran,
orang yang tetap pendirian, orang yang teguh iman, orang yang tahan menghadapi
suka duka, orang yang setia pada pembimbingnya, terutama bakti kepada
leluhurnya, orang yang berkehendak teguh melaksanakan ajaran-ajaran dharma dan
orang yang berdisiplin melakukan tapa (pengendalian diri). Itulah macam orang
yang patut dijadikan siswa kerohanian
Faktor
kepribadian dalam sistem pendidikan (aguron-guron) mengatasi syarat yang
lainnya. Oleh karena kepribadiannya sukar dirubah dan besar pengaruhnya pada
tingkah lakunya kelak kemudian hari setelah resmi menjadi seorang Sulinggih.
2.
Syarat-syarat Formal Calon Pandita/Pinandita
Secara formal terutama yang
mencakup prodeser administrasi Parisada Hindu Dharma menetapkan syarat-syarat
bagi calon Pinandita/Pemangku hampir sama dengan calon Pandita/Sulinggih.
Kecuali yang menyangkut hubungan Nabe. Oleh karena seseorang Pinandita/Pemangku
dalam proses penyuciannya tidak memerlukan seorang Nabe seperti pada padiksaan
seorang Sulinggih.
Dalam aspek mental spiritual,
seorang calon Pinandita/Pemangku juga sangat diperhatikan. Tindakan dan
perilaku Pinandita/Pemangku yang tidak terpuji, tidak saja mencemari dirinya
sendiri tetapi juga dipandang akan menodai lingkungannya. Bilamana seorang
Pinandita/Pemangku yang telah diresmikan melalui upacara pawintenan, berbuat
yang menyalahi aturan, ia wajib mengulang lagi melaksanakan upacara penyucian
diri.
Yan hana
pamanku widhi tampak tali, cuntaka dadi
Pamanku,
wnan malih maprayascitta kadi nguni upakarania,
Wnan dadi
pamanku widhimalih. Yan nora mankana
Phalania tan
mahyun bhatara mahyan rin kahyanan
(Lontar Kusuma Deva)
Artinya:
Bilamana ada pemangku yang
pernah diikat (karena suatu kesalahan), dipandang cuntaka, wajib melaksanakan
upacara prayascitta seperti upacaranya semula. Dengan demikian ia berhak untuk
kembali menjadi pemangku. Bila tidak demikian akibatnya tidak berkenan Bhatara
turun di kahyangan.
Dalam
prakteknya di masyarakat pemilihan calon Pinandita/Pemangku ditentukan oleh
umat pangemong pura yang bersangkutan. Prosedur penetapannya maupun pemilihan
calon itu sendiri dilakukan dengan berbagai cara, sesuai dengan tradisi
setempat.
Ada
beberapa cara yang telah umum dilakukan dalam pemilihan Pinandita/Pemangku
antara lain:
a.
Melalui nyanjan
Cara ini ditempuh dengan bantuan seorang mediator yang
mampu menghubungkan diri dengan dunia gaib, kemudian menerima
petunjuk-petunjuknya secra langsung, siapa yang akan dipilih Pemangku dipura
tersebut sering dilakukan dalam keadaan instran.
Pada akhirnya apakah petunjuk yang disampaikan oleh sang
mediator itu dapat diterima atau tidak oleh umat yang mendukung pura tersebut, sepenuhnya kembali lagi kepada
umat itu sendiri.
b.
Melalui keturunan
Cara ini tidak melaui prosedur yang berbelit-belit, oleh
karena cara ini telah diterima secara tradisi, bilaman seorang Pemangku yang
sudah tua tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya, secara otomatis akan
digantikan oleh keturunannya (anaknya). Melalui cara ini proses kaderisasi
umumnya berlaku secara alami, dan dipersiapkan dengan baik. Oleh karena telah
disadari pada saatnya nanti sang anak akan menerima tongkat estapet dari orang
tuanya untuk melanjutkan tugasnya sebagai Pemangku di Pura yang bersangkutan.
c.
Melalui pemilihan
Cara ini sering dilakukan bilamana cara-cara lain ternyata tidak berhasil
dilaksanakan. Ada juga yang memang melaksanakannya secara tradisi sehingga akan
berlanjut untuk waktu yang berikutnya. Dalam proses pemilihan, penentuan
syarat-syaratnya disamping yang telah ditentukan secara umum, sering masih
ditambahi dengan syarat-syarat yang ditetapkan secara khusus oleh umat yang
bersangkutan.
Betapapun
juga tugas seorang rohaniawan, apakah yang tergolong Ekajati
(Pemangku/Pinandita) lebih-lebih yang tergolong Dvijati (Sulinggih/Pandita)
adalah cukup berat. Oleh karena itu pula timbal baliknya yaitu berupa perhatian
dan penghargaan dari masyarakat umat itu sendiri juga patut diberikan
sewajarnya agar rohaniawan yang dipercayakan dalam tugas-tugas keagamaan itu
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan peranannya dan dapat
berperan sebagai tokoh panutan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Pengertian Pandita Dan Pinandita
1.
Rohaniawan yang tergolong Dvijati, dengan sebutan Pandita atau Sulinggih
Dalam
istilah nasional juga disebut Pendeta. Kata dvijati
berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata dvi yang artinya dua dan jati
berasal dari akar kata ja artinya
lahir. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah
dari kaki Dang Guru Suci yang disebut
Nabe.
Maka dari itulah dalam upacara madiksa,
yaitu upacara pengesahan untuk menjadi seorang Sulinggih atau pandita dilakukan
nuwum atau juga disebut matapak.
2.
Rohaniawan yang tergolong Eka Jati, dengan sebutan Pinandita, Pemangku,
Wasi dan sejenisnya.
Pemangku
umumnya terkait dengan adanya suatu Pura tempatnya bertugas, sedangkan Wasi,
atau Pinandita, Mangku Dalang, Mangku Balian/Dukun, Pengemban maupun Dang
Acarya, tidak selalu memiliki ikatan dengan suatu tempat suci tertentu. Oleh
karena itu mereka umumnya seperti melaksanakan tugas selaku rohaniawan yang
bersifat umum, seperti melaksanakan upacara perkawinan, upacara manusa yadnya,
upacara kematian dan lain-lainnya.
3.2 Status dan
Wewenang Pandita dan Pinandita
Status Pandita atau
Pendeta atau Sulinggih adalah tergolong Dvijati, yang artinya lahir dua kali
yaitu kelahiran pertama adalah kelahiran secara jasmani dari kandungan ibu.
Kelahiran ini hanya bersifat kelahiran secara fisik jasmani. Sedangkan
kelahiran yang kedua kalinya adalah kelahiran dari seorang guru suci yang
disebut Nabe. Dalam arti kelahiran karena telah memperoleh ilmu pengetahuan
suci dan kerohanian yang dilalui melalui pelaksanaan aguron-guron
(berguru/belajar) serta telah diresmikan melalui upacara diksa atau Pudgala.
Upacara yang dilakukan untuk seorang Pinandita hanya
sampai pada tingakt pawintenan. Upacara pawintenan bahkan juga boleh
dilaksanakan oleh umat secara umum, yang bermaksud untuk menyucikan diri.
Misalnya sebelum akan mempelajari kitab-kitab suci, sebelum akan bertugas
mengenai upacara yang agak besar dan sebagainya.
3.3 Syarat-syarat
Calon Pandita dan Pinandita
1)
Syarat-syarat calon Pandita/Sulinggih
Secara umum syarat-syarat calon Pandita telah ditetapkan
oleh Parisada Hindu Dharma dalam keputusan Maha Sabha II Tahun 1968 bahwa umat
Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat dapat disucikan (didiksa).
Adapun syarat-syaratnya adalah:
j)
Laki-laki yang sudah kawin/menikah.
k)
Laki-laki yang Nyukla Brahmacari
l)
Wanita yang sudah kawin/menikah
m)
Wanita yang tidak kawin (kanya)
n)
Pasangan suami istri
o)
Umue sudah dewasa
p)
Paham dalam bahasa kawi, Sanskrta, dan Indonesia. Memiliki pengetahuan
umum, mendalami intisari ajaran-ajaran agama (filsafat, ethika dan ritual).
q)
Sehat lahir batin, ingatan tidak terganggu, tidak cendangga (cacat tubuh
dan berbudi luhur).
r)
Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan.
2)
Syarat-syarat formal calon Pinandita/Pemangku
Secara
formal terutama yang mencakup prodeser administrasi Parisada Hindu Dharma
menetapkan syarat-syarat bagi calon Pinandita/Pemangku hampir sama dengan calon
Pandita/Sulinggih. Kecuali yang menyangkut hubungan Nabe. Oleh karena seseorang
Pinandita/Pemangku dalam proses penyuciannya tidak memerlukan seorang Nabe
seperti pada padiksaan seorang Sulinggih.
DAFTAR PUSTAKA
Sumantra
I Nengah. 2009. Dasar-dasar Pendidikan Agama Hindu
becik blognya, update terus , agar banyak informasi tentang Hindu di dunia maya ini
ReplyDelete